Bab 9 Part 9
by Dinda Tirani
17:41,Aug 09,2023
Dengan kesenduan yang kembali pada raut wajahnya, Nissa pun mulai bercerita.
“Jadi sebenarnya setahun terakhir ini Nissa sudah punya pacar Kak, namanya Ramli. Dia yang dikenal anak bandel di sekolah tiba-tiba ngedeketin Nissa. Berbulan-bulan Nissa tolak tapi dia gigih banget ngebuktiin ke Nissa kalau dia udah berubah. Sampai akhirnya Nissa ngasih dia kesempatan dan kita pun pacaran, huhuhu,” kini tangisnya mulai pecah lagi.
Aku hanya mengelus kepalanya pelan. Berharap suara tangisnya tidak terlalu kencang, bakal runyam kalau ada warga yang dengar suara tangisan perempuan subuh kayak gini.
“Ta—tapi Kak, kemarin harusnya dia yang nganterin Nissa pulang. Hanya saja jam pulang sekolah pas Aku nyamperin dia di parkiran sepi, ternyata dia malah lagi peluk-pelukan sama Desy di atas motor, huhuhu, Nissa dikhianatin Kak. Apalagi Desy itu teman Nissa juga, huhuhu.” Air matanya semakin tak terbendung. Demi meredakan kesedihannya, Aku pun merangkul tubuh adikku.
Ternyata benar kata Kak Sasha, hanya galau remaja cewek pada umumnya saja. Perasaan lega sedikit menghampiri diriku, setidaknya tidak ada hal yang benar-benar buruk menimpanya. Karena jika begitu maka Aku sebagai Kakak yang bertanggung jawab atas dirinya tidak akan sanggup memaafkan diri sendiri. Namun di sisi lain diriku juga turut merasa geram Adikku disakiti seperti ini. Aku sadar kalau keluargaku punya trauma atas pengkhianatan Papa di masa lalu, Ku harap peristiwa yang dialami Nissa tidak sampai meninggalkan luka yang begitu dalam di hatinya.
Nissa turut membalas pelukanku, Ia memeluk tubuhku begitu kencang. Jadilah Kami berpelukan erat di tengah kegelapan. Payudara Nissa yang hanya dibalut baju olahraga bahan nilon ketat benar-benar menempel di tubuhku, bahkan meninggalkan perasaan hangat. Tangannya begitu licin tanda keringatnya saat lari barusan mengucur begitu deras. Kini Aku mencium rambutnya.
“Jangan khawatir Nis, Kakak akan selalu ngejaga Kamu.”
“Makasih Kak, memang itu yang ku harapkan dari Kakak. Cuma Kakak yang selalu bisa ngejaga Aku.” ucapnya dengan sedikit gemetar.
Nissa melepaskan pelukannya dari tubuhku, Aku pun menurutinya dengan ikut melepaskan pelukanku. Namun ternyata Ia tidak melepas pelukan semata untuk menjauhkan diri. Tiba-tiba saja Nissa menempatkan kedua tangannya di pipiku, lalu menarik bibirku ke bibirnya. Aku yang tak menyangka tidak tahu harus berbuat apa. Ku rasakan Ia memainkan bibirnya memagut bibirku yang masih tertutup kaku. Namun ciumannya yang hangat membuatku terangsang, sehingga Aku pun balas memagut bibirnya. Kini lidah kami saling bertukar, saling berbagi air liur yang hangat di tengah dinginnya cuaca ini. Kini tangannya mulai menyentuh leherku. “Sialan, hebat juga ciumannya,” batinku. Jauh lebih lihai dibanding diriku, bahkan dibanding Elma sekali pun.
Aku mulai menyentuh pinggang adikku. Dia perlahan membaringkan dirinya ke papan, membuatku ikut menurunkan tubuh, setengah menindih tubuhnya. Kami terus berciuman selama perubahan gaya itu. Akal sehat Kami sepertinya sudah hilang, kini nafsu yang menggebu sudah menguasai diri Kami. Kakinya mulai mengangkang membiarkan tubuhku masuk lewat kedua belah pahanya. Aku pun mendekatkan penis kerasku yang masih berbalut celana pendek ke leggingnya. Seketika Aku lupa jika Ia adalah saudara kandungku.
Dengan kedua tangan, ku lebarkan lagi kangkangan kakinya. Bahan leggingnya begitu lembut membuat tekstur paha dan betisnya nampak begitu terbentuk. Ku dekatkan pinggangku ke arah vaginanya.
“Ahhhh,” keluar dari mulutnya begitu penisku menyentuh vaginanya meski masih terbungkus pakaian Kami. Kini Aku telah sepenuhnya menindih tubuh adik kandungku.
Aku mulai menggesek-gesekan dua kelamin Kami. Naik turun ke atas dengan tekanan sampai benar-benar terasa nikmat di kelaminku. Tanganku mulai meremas payudaranya yang terlihat begitu ketat, saking besarnya seakan hendak merobek kaos olahraga milik Mama itu. Besar sekali payudara Nissa, tanganku sampai tidak cukup untuk menggenggamnya secara utuh. Sungguh, lelaki bodoh macam apa Ramli itu? Batinku.
“Nissa, Kamu gapapa kan?” Yang langsung dijawabnya dengan menarik kembali bibirku agar terus menciumnya. Ciuman Kami pun semakin hebat. Penisku makin kencang ku gerakkan di vaginanya.
“G-gapapa Kak, Nissa keenakan kayak gini.”
“Payudara Kamu besar banget Nis.”
“”K—Kak, Ahhh bikin Nissa puas ya,” ucapnya dengan desahan yang penuh nafsu.
“Iya Sayang, Kamu mau penis Kakak?”
“Ahhhh, Aku udah basah Kak. M–mau kontol Kakak.” Ucapnya, sambil meremas bokongku dengan kedua tangannya.
“Ahhh, Kamu mau kasihin Kakak vaginamu?”
“Ahhh iya Kak, mainin memek Aku. Aku sayang sama Kakak.”
Gesekan penisku ku percepat, begitu juga Nissa, Ia mulai menggerakkan pinggangnya naik turun. Ku rasakan jemarinya kini sudah dimasukkan ke dalam celanaku, meremas kulit bokongku secara langsung. Jemarinya yang dingin menimbulkan sensasi ngilu di bokongku.
“Ahhhh Aku mau nikmatin tubuh Kakak,” ucapannya membuat nafsuku mencapai ubun-ubun, kini Aku mendorong kedua tangannya ke atas. Dari posisi di atas Aku memandangi tubuhnya yang terbentuk oleh pakaian ketat, payudaranya yang naik turun seiring nafsunya yang memburu, juga sisi vagina legging-nya yang mulai basah, wajahnya yang penuh keringat. Aroma keringat yang keluar dari tubuhnya menguarkan aura yang menggairahkan. Figurnya sungguh seksi bahkan di tengah remangnya cahaya lilin sekalipun. Oh Aku tak peduli lagi meski dia adikku.
DUK! DUK!
Oh tidak, jangan lagi!
DUK!
Namun yang ku khawatirkan sungguh terjadi. Suara itu berasal dari beduk masjid yang dipukul kencang. Tepat setelahnya adzan subuh pun berbunyi. Sialan, Kami bisa ketahuan warga kalau begini. Kami pun dengan spontan langsung memperbaiki posisi dan kembali duduk berdampingan.
Nampak Nissa tertunduk malu di sampingku. Dada Kami berdua masih berdebar kencang berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun ternyata kekhawatiran Kami terjadi, tak lama kemudian muncul rombongan Bapak-Bapak yang sedang mengenakan baju muslim melewati Kami untuk berangkat ke masjid. Beruntung Kami tidak terpergok sedang saling bertindihan.
“Mari Pak,” sapaku ramah.
“Mari.” jawab mereka serempak lalu kembali fokus mengobrol satu sama lain. Begitu mereka menghilang, Aku mematikan lilin dan Kami pun berangkat pulang ke rumah.
Nissa berjalan lebih cepat di depanku. Entah apalagi yang Ia pikirkan. Namun dalam batin Aku tak mau hal seperti ini terus berulang, sudah berkali-kali dalam tiga hari ini Aku hampir saja bercinta namun harus dihentikan di saat yang tidak tepat. Bahkan lebih naas, ujungnya baik Elma, Mama, Kak Sasha, dan kini Nissa, mereka meninggalkanku dalam keheningan yang canggung. Meninggalkanku dalam keadaan yang menggantung.
Tak ingin hal yang sama terulang, Aku mengejar Nissa dan berjalan di sampingnya. Di tengah kegelapan itu ku raih telapak tangannya. Ku susuri jemarinya dengan jariku sebelum akhirnya ku genggam dengan erat. Tangan Nissa yang awalnya sedikit gemetar kini perlahan melembut. Ia menatapku sejenak sebelum akhirnya memberikan senyuman. Subuh itu Kami bergandengan tangan menuju rumah.
Bersambung
“Jadi sebenarnya setahun terakhir ini Nissa sudah punya pacar Kak, namanya Ramli. Dia yang dikenal anak bandel di sekolah tiba-tiba ngedeketin Nissa. Berbulan-bulan Nissa tolak tapi dia gigih banget ngebuktiin ke Nissa kalau dia udah berubah. Sampai akhirnya Nissa ngasih dia kesempatan dan kita pun pacaran, huhuhu,” kini tangisnya mulai pecah lagi.
Aku hanya mengelus kepalanya pelan. Berharap suara tangisnya tidak terlalu kencang, bakal runyam kalau ada warga yang dengar suara tangisan perempuan subuh kayak gini.
“Ta—tapi Kak, kemarin harusnya dia yang nganterin Nissa pulang. Hanya saja jam pulang sekolah pas Aku nyamperin dia di parkiran sepi, ternyata dia malah lagi peluk-pelukan sama Desy di atas motor, huhuhu, Nissa dikhianatin Kak. Apalagi Desy itu teman Nissa juga, huhuhu.” Air matanya semakin tak terbendung. Demi meredakan kesedihannya, Aku pun merangkul tubuh adikku.
Ternyata benar kata Kak Sasha, hanya galau remaja cewek pada umumnya saja. Perasaan lega sedikit menghampiri diriku, setidaknya tidak ada hal yang benar-benar buruk menimpanya. Karena jika begitu maka Aku sebagai Kakak yang bertanggung jawab atas dirinya tidak akan sanggup memaafkan diri sendiri. Namun di sisi lain diriku juga turut merasa geram Adikku disakiti seperti ini. Aku sadar kalau keluargaku punya trauma atas pengkhianatan Papa di masa lalu, Ku harap peristiwa yang dialami Nissa tidak sampai meninggalkan luka yang begitu dalam di hatinya.
Nissa turut membalas pelukanku, Ia memeluk tubuhku begitu kencang. Jadilah Kami berpelukan erat di tengah kegelapan. Payudara Nissa yang hanya dibalut baju olahraga bahan nilon ketat benar-benar menempel di tubuhku, bahkan meninggalkan perasaan hangat. Tangannya begitu licin tanda keringatnya saat lari barusan mengucur begitu deras. Kini Aku mencium rambutnya.
“Jangan khawatir Nis, Kakak akan selalu ngejaga Kamu.”
“Makasih Kak, memang itu yang ku harapkan dari Kakak. Cuma Kakak yang selalu bisa ngejaga Aku.” ucapnya dengan sedikit gemetar.
Nissa melepaskan pelukannya dari tubuhku, Aku pun menurutinya dengan ikut melepaskan pelukanku. Namun ternyata Ia tidak melepas pelukan semata untuk menjauhkan diri. Tiba-tiba saja Nissa menempatkan kedua tangannya di pipiku, lalu menarik bibirku ke bibirnya. Aku yang tak menyangka tidak tahu harus berbuat apa. Ku rasakan Ia memainkan bibirnya memagut bibirku yang masih tertutup kaku. Namun ciumannya yang hangat membuatku terangsang, sehingga Aku pun balas memagut bibirnya. Kini lidah kami saling bertukar, saling berbagi air liur yang hangat di tengah dinginnya cuaca ini. Kini tangannya mulai menyentuh leherku. “Sialan, hebat juga ciumannya,” batinku. Jauh lebih lihai dibanding diriku, bahkan dibanding Elma sekali pun.
Aku mulai menyentuh pinggang adikku. Dia perlahan membaringkan dirinya ke papan, membuatku ikut menurunkan tubuh, setengah menindih tubuhnya. Kami terus berciuman selama perubahan gaya itu. Akal sehat Kami sepertinya sudah hilang, kini nafsu yang menggebu sudah menguasai diri Kami. Kakinya mulai mengangkang membiarkan tubuhku masuk lewat kedua belah pahanya. Aku pun mendekatkan penis kerasku yang masih berbalut celana pendek ke leggingnya. Seketika Aku lupa jika Ia adalah saudara kandungku.
Dengan kedua tangan, ku lebarkan lagi kangkangan kakinya. Bahan leggingnya begitu lembut membuat tekstur paha dan betisnya nampak begitu terbentuk. Ku dekatkan pinggangku ke arah vaginanya.
“Ahhhh,” keluar dari mulutnya begitu penisku menyentuh vaginanya meski masih terbungkus pakaian Kami. Kini Aku telah sepenuhnya menindih tubuh adik kandungku.
Aku mulai menggesek-gesekan dua kelamin Kami. Naik turun ke atas dengan tekanan sampai benar-benar terasa nikmat di kelaminku. Tanganku mulai meremas payudaranya yang terlihat begitu ketat, saking besarnya seakan hendak merobek kaos olahraga milik Mama itu. Besar sekali payudara Nissa, tanganku sampai tidak cukup untuk menggenggamnya secara utuh. Sungguh, lelaki bodoh macam apa Ramli itu? Batinku.
“Nissa, Kamu gapapa kan?” Yang langsung dijawabnya dengan menarik kembali bibirku agar terus menciumnya. Ciuman Kami pun semakin hebat. Penisku makin kencang ku gerakkan di vaginanya.
“G-gapapa Kak, Nissa keenakan kayak gini.”
“Payudara Kamu besar banget Nis.”
“”K—Kak, Ahhh bikin Nissa puas ya,” ucapnya dengan desahan yang penuh nafsu.
“Iya Sayang, Kamu mau penis Kakak?”
“Ahhhh, Aku udah basah Kak. M–mau kontol Kakak.” Ucapnya, sambil meremas bokongku dengan kedua tangannya.
“Ahhh, Kamu mau kasihin Kakak vaginamu?”
“Ahhh iya Kak, mainin memek Aku. Aku sayang sama Kakak.”
Gesekan penisku ku percepat, begitu juga Nissa, Ia mulai menggerakkan pinggangnya naik turun. Ku rasakan jemarinya kini sudah dimasukkan ke dalam celanaku, meremas kulit bokongku secara langsung. Jemarinya yang dingin menimbulkan sensasi ngilu di bokongku.
“Ahhhh Aku mau nikmatin tubuh Kakak,” ucapannya membuat nafsuku mencapai ubun-ubun, kini Aku mendorong kedua tangannya ke atas. Dari posisi di atas Aku memandangi tubuhnya yang terbentuk oleh pakaian ketat, payudaranya yang naik turun seiring nafsunya yang memburu, juga sisi vagina legging-nya yang mulai basah, wajahnya yang penuh keringat. Aroma keringat yang keluar dari tubuhnya menguarkan aura yang menggairahkan. Figurnya sungguh seksi bahkan di tengah remangnya cahaya lilin sekalipun. Oh Aku tak peduli lagi meski dia adikku.
DUK! DUK!
Oh tidak, jangan lagi!
DUK!
Namun yang ku khawatirkan sungguh terjadi. Suara itu berasal dari beduk masjid yang dipukul kencang. Tepat setelahnya adzan subuh pun berbunyi. Sialan, Kami bisa ketahuan warga kalau begini. Kami pun dengan spontan langsung memperbaiki posisi dan kembali duduk berdampingan.
Nampak Nissa tertunduk malu di sampingku. Dada Kami berdua masih berdebar kencang berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Namun ternyata kekhawatiran Kami terjadi, tak lama kemudian muncul rombongan Bapak-Bapak yang sedang mengenakan baju muslim melewati Kami untuk berangkat ke masjid. Beruntung Kami tidak terpergok sedang saling bertindihan.
“Mari Pak,” sapaku ramah.
“Mari.” jawab mereka serempak lalu kembali fokus mengobrol satu sama lain. Begitu mereka menghilang, Aku mematikan lilin dan Kami pun berangkat pulang ke rumah.
Nissa berjalan lebih cepat di depanku. Entah apalagi yang Ia pikirkan. Namun dalam batin Aku tak mau hal seperti ini terus berulang, sudah berkali-kali dalam tiga hari ini Aku hampir saja bercinta namun harus dihentikan di saat yang tidak tepat. Bahkan lebih naas, ujungnya baik Elma, Mama, Kak Sasha, dan kini Nissa, mereka meninggalkanku dalam keheningan yang canggung. Meninggalkanku dalam keadaan yang menggantung.
Tak ingin hal yang sama terulang, Aku mengejar Nissa dan berjalan di sampingnya. Di tengah kegelapan itu ku raih telapak tangannya. Ku susuri jemarinya dengan jariku sebelum akhirnya ku genggam dengan erat. Tangan Nissa yang awalnya sedikit gemetar kini perlahan melembut. Ia menatapku sejenak sebelum akhirnya memberikan senyuman. Subuh itu Kami bergandengan tangan menuju rumah.
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved