Bab 8 Part 8

by Dinda Tirani 17:40,Aug 09,2023
Tanpa membuang waktu langsung ku tancapkan motorku menuju sekolah Nissa. Kekesalanku yang sempat timbul akibat telepon yang muncul di waktu yang salah tadi lenyap semua. Kini pikiranku hanya dipenuhi rasa khawatir jika ada hal yang buruk menimpa satu-satunya saudaraku itu.
Tak sampai 10 menit Aku sudah tiba di depan sekolah. Nissa sudah berdiri di depan siap menungguku. Tangisannya sudah berhenti, namun jelas matanya terlihat sembab. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Ia naik ke motorku.
Sepanjang perjalanan Nissa memelukku erat, entah apakah Ia sedang menangis lagi atau tidak. Meski payudaranya benar-benar menempel ketat di punggungku namun kali ini Aku tak lagi merasa nafsu. Saat ini Aku hanya mengkhawatirkan Nissa. Akan ku cari tahu di rumah nanti.
Begitu sampai di rumah, Kak Sasha sudah menunggu di kursi teras. Namun Nissa seakan tak peduli, Ia langsung berjalan masuk begitu saja menuju kamarnya. Aku pun mencoba mengejarnya sebelum tangan Kak Sasha meraihku.
“Udah, biarin dia sedih dulu.” Aku pun patuh dan langsung mengambil duduk di kursi yang satu.
“Tapi Kak…”
“Sudah biasa remaja cewek galau kayak gitu, nanti kalau udah reda sedihnya baru kita tanyain. Paling juga ga akan lama sedihnya. Aku juga dulu kayak gitu kok, semoga penyebab sedihnya bukan hal yang besar,” ucapnya. Kak Sasha makin terlihat cantik saat bersikap dewasa seperti ini.
“Kak Sasha tentang tadi,” kataku, berniat melanjutkan pembahasan yang terhenti sore tadi.
“Lupain aja ya Yo,” Ia memotong kalimatku yang belum selesai. “Aku mau siapin makan malam dulu,” ucapnya, seraya berjalan masuk ke dalam rumah. Meninggalkanku dengan perasaan yang turut retak. Bibirku bahkan belum sempat terkatup, masih menganga bersama isi hati yang belum tuntas diuraikan.
Makan malam berjalan aneh hari ini. Hanya ada Aku sendiri di meja makan. Padahal nasi, telur, dan sayur asem yang Kak Sasha masak cukup banyak untuk dimakan bertiga. Nissa belum mau keluar kamar, sedangkan Kak Sasha mengaku sudah langsung makan saat baru masak tadi. Sehari saja Mama keluar kota dan Kami sudah berpencar seperti ini.
Setelah makan Aku duduk di sofa, berharap salah satu dari mereka keluar kamar. Meski senang sendiri, entah mengapa malam ini Aku sedang ingin ditemani duduk oleh seseorang. Akhirnya setelah setengah jam duduk sambil bermain ponsel, Kak Sasha pun keluar dari kamar.
“Eh Kak Sasha,” tegurku sambil tersenyum, memberanikan diri untuk berinteraksi dengannya. Kak Sasha hanya melihatku sebentar sebelum akhirnya lanjut berjalan ke toilet. Begitu Ia keluar dari toilet Aku pun menyapanya sekali lagi.
“Kak Sasha mau teh?” tanyaku, berharap Ia mau mampir duduk menemaniku malam ini.
“Aku ngantuk Yo, lain kali ya,” jawabnya sebelum akhirnya memasuki kamar.
Kak Sasha sepertinya kembali bersifat dingin padaku seperti hari-hari lalu. Segala sentuhan yang terjadi tadi sore mungkin hanyalah mimpi yang tak Aku sadari. Pada akhirnya hubungan kami memang selalu kaku.
Dalam keadaan galau Aku pun tidur lebih cepat malam ini.
DOR!!! DOR!!! DOR!!!
Suara gedoran pintu membangunkanku.
“Kak? Kak Dio?!” Teriak sosok itu kencang.
Nissa yang membangunkanku. Apa yang terjadi? Dengan secepat kilat Aku terbangun dan langsung menuju pintu.
Nissa telah berdiri di depan pintu. Di hadapanku, Ia sudah berdiri manis mengenakan setelan olahraga, lengkap dengan kaos dan legging olahraga setinggi 3/4 ketat bermerek apparel asal Jerman. Ia juga mengenakan bandana berwarna pink di kepalanya. Ku lihat masih ada sisa sembab di matanya. Bajunya begitu ketat, pasti asal ngambil dari lemari Mama, pikirku.
“Kenapa ya Nis?” Aku yang belum sepenuhnya sadar merasa kebingungan.
“Kok kenapa? Kan katanya kemarin mau lari bareng.”
“Hah?” ku tengok jam dinding di kamarku yang masih menunjukkan pukul 3:45 pagi. “Emang Kamu setan apa mau lari jam segini? Masih gelap total loh Nis. Nunggu sejam lagi deh.”
“Aku ga bisa tidur Kak.”
“Iya tapi ga jam segini juga. Kamu ga tau aja sih kalau daerah dekat rumah nih sepi banget kalau subuh.”
“Ih Kakak ga mau nemenin Nissa ya,” ucapnya cemberut, sambil berjalan lunglai kembali ke arah kamarnya.
“Errrr… yaudah deh, tunggu Kakak gantian dulu,” ucapku. Memang ya nih anak paling jago buat Kakaknya merasa bersalah.
“Hore! Gitu dong Kak, masa jam segini masih ngantuk sih.” ucapnya sambil melompat heboh. Aku hanya bisa tersenyum saja melihat tingkah adikku ini. Setidaknya Ia tak bersedih lagi.
“Satu lagi Kak!” panggilnya, sesaat Aku akan menutup pintu.
“Apaan lagi?”
“Jangan bilang Mama ya kalau Nissa ga pakai jilbab,” ucapnya sambil mengedipkan satu mata padaku. Oh, ada-ada saja anak ini.
Pukul 3:50 Kami sudah mulai berjalan cepat sebagai pemanasan meninggalkan rumah. Nissa benar-benar tak sabaran, selagi gantian saja pintuku terus-terusan digedor. “Kalau telat ku tinggal nih,” begitu katanya, meski tahu Ia tak mungkin berani jogging sendiri namun tetap saja suara gedoran pintu begitu menggangguku, alhasil Aku benar-benar mempercepat persiapanku bahkan sampai lupa untuk cuci muka.
Area rumah Kami masih dipenuhi oleh kawasan sawah yang hijau dan permai. Karena itu pulalah yang membuat Aku hobi sekali berlari hampir setiap hari. Pemandangan sekitar memang selalu membuatku damai, seakan menjadi terapi tersendiri bagi diriku yang tidak terlalu suka keramaian ini. Tapi apa yang mau dilihat pukul 3:50 pagi? Bahkan Planet Venus pun masih bersinar terang, boro-boro ada matahari. Apalagi dinginnya angin dini hari yang menimpa kulit kami membuat lari pagi ini terasa agak menyiksa.
Sepuluh menit berlari Nissa pun mulai ngos-ngosan.
“Huh, Kak, berhenti dulu Kak,” ucapnya, dengan nafas tak teratur. Padahal keringatku baru saja mulai menetes. Demi menepati janji kemarin Aku pun ikut berhenti. Kami memilih pos ronda kecil di dekat sawah. Sayangnya tak ada siapa pun di pos ronda yang gelap itu. Tak ada pula sinar lampu sedikit pun. Jujur saja, Aku agak bergidik ngeri untuk berhenti di sana, takut ada roh-roh asing yang kami ganggu istirahatnya. Namun mau apa lagi, Nissa benar-benar kelelahan. Jika dipaksa berjalan lebih jauh lagi kayaknya Ia bisa pingsan.
Di sana, Kami meminum air dari botol minum yang ku bawa. Saking lelahnya Nissa bahkan langsung terbaring di pos ronda yang terbuat dari papan itu. Aku mencoba mencari hal yang bisa ku jadikan sumber cahaya. Untungnya, tepat di pojok pos terdapat lilin, piring, dan korek kayu. Sepertinya masih ada warga yang menggunakan pos ronda ini dan menyalakan lilin saat malam.
“Kak, mau tahu gak kenapa kemarin Nissa nangis?” ucapnya, tepat setelah lilinnya berhasil ku nyalakan. Di tengah redupnya cahaya nampak bulir keringat masih menetes dari wajah Nissa.
“Emang kenapa?”

Bersambung

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

280