Bab 4 Part 4
by Dinda Tirani
17:38,Aug 09,2023
Mereka semua sedang berkumpul di depan TV saat Aku tiba. Aku telah memberi tahu lewat pesan singkat bahwa Aku akan pulang sebelum maktu makan malam. Mungkin karena itu pula mereka begitu girang begitu Aku datang. Sepertinya mereka sedang menungguku pulang untuk segera makan malam bersama. Pasti mereka sangat lapar ya. Kami memang selalu makan malam bersama seperti ini kecuali jika ada agenda lain yang membuat Kami tak bisa makan malam secara lengkap. Mereka adalah keluargaku.
Oh ya, di rumah Aku hanya tinggal berempat. Bersama Mama, usianya 42 tahun, bekerja sebagai dosen di kampus tempatku kuliah, Nissa, adikku yang berusia 18, saat ini Ia sedang mengenyam bangku pendidikan kelas 3 SMU. Juga Kak Sasha, kakak sepupuku yang tinggal bersama kami sejak merantau ke kota Kami 5 tahun lalu. Saat ini Kak Sasha sedang mengenyam bangku pendidikan S2, usianya 24 pada akhir tahun ini. Tentang Papa? Ia sudah memiliki keluarga lain sekarang dan telah lama meninggalkan rumah. Di mata Kami Papa bukanlah orang yang patut dibahas lagi.
Sedikit deskripsi tentang mereka. Mama, biasanya dipanggil Bu Dian atau Tante Dian, ialah single parent yang tangguh. Sehari-hari Ia mengenakan jilbab saat meninggalkan rumah. Saat di dalam rumah Ia lebih sering mengenakan tank top dan celana pendek berbahan nylon. Kebiasaannya ini memang agak berbeda dengan Ibu-Ibu lain pada umumnya yang lebih senang mengenakan daster saat di rumah. Mama memang senang berolahraga, khususnya zumba dan berlatih tinju secara otodidak. Mengherankan bukan? bahkan samsak tinju yang digantung di belakang rumah lebih sering digunakan oleh Mama daripada Aku. Menurutku bertinju ialah pelarian Mama dari emosi pasca dikhianati di masa lalu. Makanya tak mengherankan, meski sudah berusia 42 tahun, tubuh Mama masihlah ramping dengan tangan yang meski kecil, namun samar-samar terlihat berotot.
Jika ku perhatikan, dada Mama juga tidak besar, entah berapa ukurannya Aku tak paham, yang jelas serasi dengan tubuhnya yang kecil. Cukup aneh mengingat kebanyakan wanita seusianya pasti telah mengalami pembesaran payudara setelah beberapa kali melahirkan dan menyusui. Oh iya, tinggi Mama ialah 160 cm. Meski rambutnya hanya sepanjang leher, Ia tetap sering mengikatnya. Mama memiliki kulit putih cerah dan mulus sehingga membuatnya terlihat seperti wanita berusia 30 tahunan.
Sedangkan adikku Nissa ialah seorang remaja yang menggeluti seni. Ia aktif menulis bahkan sampai memenangkan lomba cipta puisi tingkat provinsi. Ia juga mengenakan jilbab dalam kegiatan sehari-hari di luar. Jika di rumah, Ia lebih sering mengenakan daster atau baju kaos. Ia tak sering berolahraga seperti Mama, jadi badannya nampak kurus, layaknya remaja seusianya. Meski kurus, jika ku perhatikan sekilas, dada dan pantat Nissa nampak jauh lebih besar dari Mama. Mungkin karena badannya kecil atau apa, dada Nissa selalu terlihat nyembul dari balik pakaiannya yang mungkin hanya berukuran S itu.
Nissa bertubuh lebih pendek dari Mama, mungkin 155-157 cm. Rambutnya sebahu, sedikit dipirang berwarna merah di bagian bawahnya dan sering digerai begitu saja. Warna kulit Nissa agak berbeda dengan Mama. Kulitnya berwarna sawo matang, meski masih jauh lebih putih daripada Ku yang memang terlihat gelap. Papa Kami memang berkulit gelap, oleh karenanya tidak ada satu pun dari Kami yang benar-benar terlihat persis seperti Mama.
Kak Sasha berasal dari kota B. Tubuhnya lebih tinggi dariku, mungkin sekitar 170 cm atau lebih. Tubuhnya sedikit lebih berisi dari Nissa dan Mama namun tak sampai terlihat semok. Dadanya berukuran sedang, entah seberapa besar Aku tak tahu. Ia tidak mengenakan jilbab saat keluar rumah sehingga memamerkan rambut sebahunya yang hitam lebat. Mungkin karena hanya keponakan saja, sehingga Mama tidak menyuruh Kak Sasha untuk menutup aurat, tak seperti Nissa yang diawasi cukup ketat.
Aku dan Kak Sasha tidak terlalu akrab. Mungkin karena selisih umur yang tidak terlalu dekat dan juga karena kesibukannya sehingga lebih sering keluar rumah dan berdekam di kamar tiap kali sedang tak keluar. Padahal di masa lalu Kami sangatlah akrab hingga Aku berusia 12 tahun. Tiap kali Ia berlibur ke rumah, Kami selalu menghabiskan waktu bersama. Bahkan saat Ia sudah SMA sekali pun Kami masih selalu tidur bareng. Sampai suatu ketika Ia datang ke sini untuk benar-benar merantau, hubungan yang ku pikir akan semakin erat justru perlahan merenggang. Bahkan bisa dibilang keakraban Kami di masa lalu menjadi alasan kecanggungan Kami saat ini.
“Kakak dari mana aja sih? Kita udah lapar tau,” ucap Nissa sambil memotong ayam goreng dengan sendoknya.
“Dari rumah Harun, main PS,” balasku singkat. “Perutku juga lapar tahu,” yang tentu saja hanya ku sampaikan dalam hati.
“Kamu tuh ke rumah Harun terus, apa mereka ga keganggu?” kali ini Mama yang membalas ucapanku.
“Orang Aku diajak sama mereka Ma.”
“Lain kali kalau pulang malam Kakak makan di luar aja,” balas Nissa sembari memeletkan lidah.
“Enak aja, yang masak kan bukan Kamu,” balasku, sambil memalingkan wajah ke Kak Sasha. Sehari-hari Ia lah yang sering memasak di rumah Kami. Ia memang memperoleh keterampilan memasak dari Ibunya. Kak Sasha hanya tersenyum tipis begitu Aku memalingkan wajah ke arahnya. Senyum yang sangat manis, membuatku salah tingkah lalu balik fokus ke makanan di piringku.
Setelah makan malam, Aku bergabung dengan Mama di depan TV. Kak Sasha dan Nissa sudah masuk kamar duluan. Sebenarnya Aku juga ingin segera masuk ke kamar dan mulai mengkhayalkan kembali apa yang terjadi siang tadi antara Aku dan Elma. Namun sayangnya Mama memintaku untuk duduk dulu menemaninya di depan TV.
Saat ini Mama sedang mengenakan tanktop putih dengan celana pendek nilon bewarna hitam, bayangan bra berwarna hitam terlihat jelas dari balik tanktopnya. Aku yang sudah biasa dengan pemandangan seperti ini pun tidak pernah mengambil pusing penampilan Mama yang selalu seksi. Aku sedang duduk di sisi kiri sofa, sedangkan mama di sisi kanan. Aku duduk dengan bersandar ke arah pegangan sofa sambil bermain ponsel. Sehingga bisa dibilang Aku sedang duduk mengangkang ke arah Mama.
“Kamu tadi kuliahnya gimana?”
“Lancar aja kok Ma,” jawabku pelan.
“Kok ga langsung pulang?”
“Soalnya nebeng Harun Ma.”
“Terus kalau nebeng?” sejak tadi Ia terus memberikan pertanyaan-pertanyaan kosong seperti ini.
“Ya pulangnya ngikut dia,” jawabku cuek, Sambil masih melihat layar ponselku. Kebetulan saat itu Aku sedang membuka instastory yang baru diunggah Elma. Nampak dirinya sedang berswafoto bersama suaminya di antara rak-rak makanan di supermarket. Senyum tipis di wajahnya benar-benar mengindikasikan seakan tak ada apa-apa yang baru saja terjadi hari ini. Hebat juga ibu muda itu menutupi perbuatannya.
“Mama besok pagi mau ngisi seminar di kota S. Di sananya bakal tinggal beberapa hari, Mama belum tau pastinya. Kamu nganterin Nissa sekolah ya.”
“Iya Ma, aman.”
“Ih Kamu tuh, kalau Mama kasih tahu didengar dong,”
Tiba-tiba saja tangannya meraih ponsel yang sedang ku genggam. Refleks tanganku balik menarik ponsel yang direbut Mama. Refleksku saat menahan ponsel membuat Mama sedikit tertarik dan hampir menindih tubuhku. Lututnya sudah berada dekat dengan pahaku sedangkan tangannya yang mengambil ponsel masih diletakkan di atas pahaku.
Kami terpaku dalam posisi seperti itu. Gundukan payudara Mama yang sedikit menyembul dari balik tanktopnya kini telah berada di hadapanku. Ku lihat ada satu tahi lalat kecil di sisi atas payudaranya yang sangat putih itu. Entah mengapa pemandangan yang biasanya tak ku perhatikan itu tiba-tiba saja membuat penisku berdiri lagi. Ini pasti karena penisku masih merasa gantung saat bersama Elma siang tadi. Oh tidak, saat ini Aku hanya memakai celana pendek cargo tanpa celana dalam, jangan sampai Mama melihat tonjolanku. Dengan hati-hati Aku pun melipat kakiku untuk menutupi tonjolan penis itu.
“Oh lagi lihatin istri temanmu ya,” ucap Mama tertawa kecil sambil melihat ke arah layar ponsel. Ya, Aku memang sedang membuka profil Instagram Elma.
“E—enggak kok,” jawabku.
“Apanya yang enggak? Kamu dari tadi Mama ajak ngomong ga ditimpalin ternyata lagi ngelihatin Elma,” Mama memang mengenal Harun dan Elma karena beberapa kali datang ke rumah. kebetulan pula semester ini Kami bertiga memang sedang mengambil mata kuliah yang diampu oleh Mama.
“Ga ada kok,” ucapku salah tingkah, sambil menarik ponsel dari tangan Mama. Tarikan tanganku membuat tangan mama yang sebelumnya berada di area pahaku ikut tertarik. Punggung tangannya tanpa sengaja menyentuh batang penisku. Menyentuhnya dengan posisi tubuh yang benar-benar sudah hampir menindihku sepenuhnya. Ku lihat bibir Mama sedikit menganga karena tak menyangka dengan perlawananku.
Ia tidak langsung mengubah posisinya. Untuk sejenak tangannya tetap ditempatkan di penisku, sebelum akhirnya ditarik kembali. Anehnya, Mama tidak menarik tangannya mundur secara langsung. Ia justru menaikkan tangannya terlebih dahulu yang sebelumnya berada di area pangkal penisku perlahan-lahan ke atas menyentuh batang penisku hingga kepalanya sampai akhirnya ditarik kembali. Gerakan itu berjalan cukup lambat, seakan Mama sedang mengukur ukuran penisku. Matanya tetap mengarah ke arah celanaku selama itu terjadi.
Ia pun kembali ke sisi kanan sofa, tempat duduknya yang sebelumnya. Matanya terpaku ke arah televisi yang sedang menampilkan acara lawak. Bibirnya terkatup rapat, Ia tak lagi mengajakku bicara. Sampai setidaknya 30 menit kemudian.
“Duh Mama ngantuk nih besok berangkat pagi, Kamu jangan lupa ya besok anter Nissa.”
“Iya Ma.”
Mama menatapku lamat untuk beberapa saat, tanpa mengeluarkan ucapan apa pun. Tatapan penuh makna yang tak bisa ku tebak. Sebelum akhirnya melangkah ke arah kamarnya meninggalkan diriku dengan kesengsaraan kecil di balik celanaku.
Penisku masih begitu tegang. Sifat Mama hari ini entah mengapa terlihat begitu seksi di mataku. Aduh… sejak kapan Aku bisa terangsang karena Mama? Mama sadar tidak sih kalau tadi Ia baru saja menyentuh penisku yang tegang? Kenapa semua wanita selalu meninggalkanku dalam kebingungan hari ini?.
Bersambung
Oh ya, di rumah Aku hanya tinggal berempat. Bersama Mama, usianya 42 tahun, bekerja sebagai dosen di kampus tempatku kuliah, Nissa, adikku yang berusia 18, saat ini Ia sedang mengenyam bangku pendidikan kelas 3 SMU. Juga Kak Sasha, kakak sepupuku yang tinggal bersama kami sejak merantau ke kota Kami 5 tahun lalu. Saat ini Kak Sasha sedang mengenyam bangku pendidikan S2, usianya 24 pada akhir tahun ini. Tentang Papa? Ia sudah memiliki keluarga lain sekarang dan telah lama meninggalkan rumah. Di mata Kami Papa bukanlah orang yang patut dibahas lagi.
Sedikit deskripsi tentang mereka. Mama, biasanya dipanggil Bu Dian atau Tante Dian, ialah single parent yang tangguh. Sehari-hari Ia mengenakan jilbab saat meninggalkan rumah. Saat di dalam rumah Ia lebih sering mengenakan tank top dan celana pendek berbahan nylon. Kebiasaannya ini memang agak berbeda dengan Ibu-Ibu lain pada umumnya yang lebih senang mengenakan daster saat di rumah. Mama memang senang berolahraga, khususnya zumba dan berlatih tinju secara otodidak. Mengherankan bukan? bahkan samsak tinju yang digantung di belakang rumah lebih sering digunakan oleh Mama daripada Aku. Menurutku bertinju ialah pelarian Mama dari emosi pasca dikhianati di masa lalu. Makanya tak mengherankan, meski sudah berusia 42 tahun, tubuh Mama masihlah ramping dengan tangan yang meski kecil, namun samar-samar terlihat berotot.
Jika ku perhatikan, dada Mama juga tidak besar, entah berapa ukurannya Aku tak paham, yang jelas serasi dengan tubuhnya yang kecil. Cukup aneh mengingat kebanyakan wanita seusianya pasti telah mengalami pembesaran payudara setelah beberapa kali melahirkan dan menyusui. Oh iya, tinggi Mama ialah 160 cm. Meski rambutnya hanya sepanjang leher, Ia tetap sering mengikatnya. Mama memiliki kulit putih cerah dan mulus sehingga membuatnya terlihat seperti wanita berusia 30 tahunan.
Sedangkan adikku Nissa ialah seorang remaja yang menggeluti seni. Ia aktif menulis bahkan sampai memenangkan lomba cipta puisi tingkat provinsi. Ia juga mengenakan jilbab dalam kegiatan sehari-hari di luar. Jika di rumah, Ia lebih sering mengenakan daster atau baju kaos. Ia tak sering berolahraga seperti Mama, jadi badannya nampak kurus, layaknya remaja seusianya. Meski kurus, jika ku perhatikan sekilas, dada dan pantat Nissa nampak jauh lebih besar dari Mama. Mungkin karena badannya kecil atau apa, dada Nissa selalu terlihat nyembul dari balik pakaiannya yang mungkin hanya berukuran S itu.
Nissa bertubuh lebih pendek dari Mama, mungkin 155-157 cm. Rambutnya sebahu, sedikit dipirang berwarna merah di bagian bawahnya dan sering digerai begitu saja. Warna kulit Nissa agak berbeda dengan Mama. Kulitnya berwarna sawo matang, meski masih jauh lebih putih daripada Ku yang memang terlihat gelap. Papa Kami memang berkulit gelap, oleh karenanya tidak ada satu pun dari Kami yang benar-benar terlihat persis seperti Mama.
Kak Sasha berasal dari kota B. Tubuhnya lebih tinggi dariku, mungkin sekitar 170 cm atau lebih. Tubuhnya sedikit lebih berisi dari Nissa dan Mama namun tak sampai terlihat semok. Dadanya berukuran sedang, entah seberapa besar Aku tak tahu. Ia tidak mengenakan jilbab saat keluar rumah sehingga memamerkan rambut sebahunya yang hitam lebat. Mungkin karena hanya keponakan saja, sehingga Mama tidak menyuruh Kak Sasha untuk menutup aurat, tak seperti Nissa yang diawasi cukup ketat.
Aku dan Kak Sasha tidak terlalu akrab. Mungkin karena selisih umur yang tidak terlalu dekat dan juga karena kesibukannya sehingga lebih sering keluar rumah dan berdekam di kamar tiap kali sedang tak keluar. Padahal di masa lalu Kami sangatlah akrab hingga Aku berusia 12 tahun. Tiap kali Ia berlibur ke rumah, Kami selalu menghabiskan waktu bersama. Bahkan saat Ia sudah SMA sekali pun Kami masih selalu tidur bareng. Sampai suatu ketika Ia datang ke sini untuk benar-benar merantau, hubungan yang ku pikir akan semakin erat justru perlahan merenggang. Bahkan bisa dibilang keakraban Kami di masa lalu menjadi alasan kecanggungan Kami saat ini.
“Kakak dari mana aja sih? Kita udah lapar tau,” ucap Nissa sambil memotong ayam goreng dengan sendoknya.
“Dari rumah Harun, main PS,” balasku singkat. “Perutku juga lapar tahu,” yang tentu saja hanya ku sampaikan dalam hati.
“Kamu tuh ke rumah Harun terus, apa mereka ga keganggu?” kali ini Mama yang membalas ucapanku.
“Orang Aku diajak sama mereka Ma.”
“Lain kali kalau pulang malam Kakak makan di luar aja,” balas Nissa sembari memeletkan lidah.
“Enak aja, yang masak kan bukan Kamu,” balasku, sambil memalingkan wajah ke Kak Sasha. Sehari-hari Ia lah yang sering memasak di rumah Kami. Ia memang memperoleh keterampilan memasak dari Ibunya. Kak Sasha hanya tersenyum tipis begitu Aku memalingkan wajah ke arahnya. Senyum yang sangat manis, membuatku salah tingkah lalu balik fokus ke makanan di piringku.
Setelah makan malam, Aku bergabung dengan Mama di depan TV. Kak Sasha dan Nissa sudah masuk kamar duluan. Sebenarnya Aku juga ingin segera masuk ke kamar dan mulai mengkhayalkan kembali apa yang terjadi siang tadi antara Aku dan Elma. Namun sayangnya Mama memintaku untuk duduk dulu menemaninya di depan TV.
Saat ini Mama sedang mengenakan tanktop putih dengan celana pendek nilon bewarna hitam, bayangan bra berwarna hitam terlihat jelas dari balik tanktopnya. Aku yang sudah biasa dengan pemandangan seperti ini pun tidak pernah mengambil pusing penampilan Mama yang selalu seksi. Aku sedang duduk di sisi kiri sofa, sedangkan mama di sisi kanan. Aku duduk dengan bersandar ke arah pegangan sofa sambil bermain ponsel. Sehingga bisa dibilang Aku sedang duduk mengangkang ke arah Mama.
“Kamu tadi kuliahnya gimana?”
“Lancar aja kok Ma,” jawabku pelan.
“Kok ga langsung pulang?”
“Soalnya nebeng Harun Ma.”
“Terus kalau nebeng?” sejak tadi Ia terus memberikan pertanyaan-pertanyaan kosong seperti ini.
“Ya pulangnya ngikut dia,” jawabku cuek, Sambil masih melihat layar ponselku. Kebetulan saat itu Aku sedang membuka instastory yang baru diunggah Elma. Nampak dirinya sedang berswafoto bersama suaminya di antara rak-rak makanan di supermarket. Senyum tipis di wajahnya benar-benar mengindikasikan seakan tak ada apa-apa yang baru saja terjadi hari ini. Hebat juga ibu muda itu menutupi perbuatannya.
“Mama besok pagi mau ngisi seminar di kota S. Di sananya bakal tinggal beberapa hari, Mama belum tau pastinya. Kamu nganterin Nissa sekolah ya.”
“Iya Ma, aman.”
“Ih Kamu tuh, kalau Mama kasih tahu didengar dong,”
Tiba-tiba saja tangannya meraih ponsel yang sedang ku genggam. Refleks tanganku balik menarik ponsel yang direbut Mama. Refleksku saat menahan ponsel membuat Mama sedikit tertarik dan hampir menindih tubuhku. Lututnya sudah berada dekat dengan pahaku sedangkan tangannya yang mengambil ponsel masih diletakkan di atas pahaku.
Kami terpaku dalam posisi seperti itu. Gundukan payudara Mama yang sedikit menyembul dari balik tanktopnya kini telah berada di hadapanku. Ku lihat ada satu tahi lalat kecil di sisi atas payudaranya yang sangat putih itu. Entah mengapa pemandangan yang biasanya tak ku perhatikan itu tiba-tiba saja membuat penisku berdiri lagi. Ini pasti karena penisku masih merasa gantung saat bersama Elma siang tadi. Oh tidak, saat ini Aku hanya memakai celana pendek cargo tanpa celana dalam, jangan sampai Mama melihat tonjolanku. Dengan hati-hati Aku pun melipat kakiku untuk menutupi tonjolan penis itu.
“Oh lagi lihatin istri temanmu ya,” ucap Mama tertawa kecil sambil melihat ke arah layar ponsel. Ya, Aku memang sedang membuka profil Instagram Elma.
“E—enggak kok,” jawabku.
“Apanya yang enggak? Kamu dari tadi Mama ajak ngomong ga ditimpalin ternyata lagi ngelihatin Elma,” Mama memang mengenal Harun dan Elma karena beberapa kali datang ke rumah. kebetulan pula semester ini Kami bertiga memang sedang mengambil mata kuliah yang diampu oleh Mama.
“Ga ada kok,” ucapku salah tingkah, sambil menarik ponsel dari tangan Mama. Tarikan tanganku membuat tangan mama yang sebelumnya berada di area pahaku ikut tertarik. Punggung tangannya tanpa sengaja menyentuh batang penisku. Menyentuhnya dengan posisi tubuh yang benar-benar sudah hampir menindihku sepenuhnya. Ku lihat bibir Mama sedikit menganga karena tak menyangka dengan perlawananku.
Ia tidak langsung mengubah posisinya. Untuk sejenak tangannya tetap ditempatkan di penisku, sebelum akhirnya ditarik kembali. Anehnya, Mama tidak menarik tangannya mundur secara langsung. Ia justru menaikkan tangannya terlebih dahulu yang sebelumnya berada di area pangkal penisku perlahan-lahan ke atas menyentuh batang penisku hingga kepalanya sampai akhirnya ditarik kembali. Gerakan itu berjalan cukup lambat, seakan Mama sedang mengukur ukuran penisku. Matanya tetap mengarah ke arah celanaku selama itu terjadi.
Ia pun kembali ke sisi kanan sofa, tempat duduknya yang sebelumnya. Matanya terpaku ke arah televisi yang sedang menampilkan acara lawak. Bibirnya terkatup rapat, Ia tak lagi mengajakku bicara. Sampai setidaknya 30 menit kemudian.
“Duh Mama ngantuk nih besok berangkat pagi, Kamu jangan lupa ya besok anter Nissa.”
“Iya Ma.”
Mama menatapku lamat untuk beberapa saat, tanpa mengeluarkan ucapan apa pun. Tatapan penuh makna yang tak bisa ku tebak. Sebelum akhirnya melangkah ke arah kamarnya meninggalkan diriku dengan kesengsaraan kecil di balik celanaku.
Penisku masih begitu tegang. Sifat Mama hari ini entah mengapa terlihat begitu seksi di mataku. Aduh… sejak kapan Aku bisa terangsang karena Mama? Mama sadar tidak sih kalau tadi Ia baru saja menyentuh penisku yang tegang? Kenapa semua wanita selalu meninggalkanku dalam kebingungan hari ini?.
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved