Bab 6 Part 6

by Dinda Tirani 17:39,Aug 09,2023
Hari ini Aku mengantar Nissa ke sekolah. Pukul 6:30, setelah buru-buru mandi wajib dan sarapan, kami pun meninggalkan rumah. Kebetulan juga ada kelas pagi jadi Aku bisa langsung berangkat ke kampus. Sebelumnya, Aku sudah mengirim pesan ke Harun kalau hari ini Aku tidak nebeng karena bawa motor sendiri. Jujur, Aku agak sedikit kecewa mengingat Aku tak punya alasan untuk mampir ke rumah Harun sepulang kuliah dan mencuri kesempatan untuk mengulangi perbuatanku dengan Elma kemarin. Apalagi Mama juga menugaskanku untuk menjemput Nissa sepulang sekolah.
Sepanjang perjalanan, payudara Nissa terus-terusan menempel di punggungku. Sudah berapa lama Aku tidak memboncengnya seperti ini? Padahal tahun lalu saat Ia kelas 1 SMA dan Aku kelas 3 di sekolah yang sama, Akulah yang mengantarnya tiap hari. Sepertinya payudara Nissa benar-benar tumbuh dalam waktu setahun terakhir.
Oh tidak. Jangan Nissa juga. Jangan sampai Aku malah nafsu pada semua anggota keluargaku. Apa yang terjadi denganku? Kenapa dalam waktu sehari saja pikiranku sudah melantur seperti ini? Bahkan tadi pagi Aku sempat kepikiran lagi pada paha Kak Sasha yang hanya mengenakan handuk saat ngobrol denganku.
“Kak, tumben ga lari pagi tadi?”
“Kakak kesiangan, biasanya sih subuh udah mulai lari,” jawabku menimpali Adikku. Meski pikiranku sedang tidak jernih, jujur Aku memang merindukan momen kekeluargaan seperti ini. Sepanjang kuliah Aku terlalu fokus akan mengejar nilai bagus hingga mulai jarang berinteraksi dengan Adikku.
“Kamu juga dong ikut Kakak lari,” timpalku.
“Nanti aja deh Kak, lagian kalau ikut cuma ngelambatin Kakak doang.”
“Nggak ngelambatin kok. Kakak juga kan larinya bukan buat jadi atlet. Jadi kalau memang mau istirahat ya istirahat.”
“Besok deh kalau bangun, hehehe,” balasnya cengengesan. Paling Nissa kesiangan lagi besok, batinku.
“Kak sore ga usah jemput ya?” ujarnya begitu motorku sudah berjalan dekat sekolahnya.
“Lah memang kenapa?”
“Udah ada yang antarin Kak.”
“Ah janganlah, nanti diomelin Mama.”
“Ih, nanti Aku bilang ke Mama kalau Kak Dio yang jemput.”
“Kalau Kak Sasha yang ngadu gimana? Memang siapa sih yang antar kamu pulang?”
“Ih posesif banget sih jadi Kakak. Amanlah kalau Kak Sasha, Aku kan sering main ke kamarnya, bisalah diomongin. Emang kayak Kakak apa ga akrab sama Kak Sasha,” godanya, entah mengapa ucapan itu membuat pipiku panas.
“Yaudah deh, tapi jangan sampai ada apa-apa ya,” bersamaan dengan itu motorku pun telah tiba di depan gerbang sekolah Nissa.
“Makasih ya Kak,” ucap Nissa sembari berjalan masuk ke dalam area sekolah.
Aku tiba di kampus 10 menit setelahnya. Setiba di kelas ku lihat kelas masih sepi. Kelas pagi memang selalu dipenuhi oleh mahasiswa dan dosen yang terlambat, jadi wajar apabila pukul 6:50 seperti ini pun bangku-bangku kelas masih kosong.
“Yo!” teriak Harun dari bangkunya. Ia sedang duduk bersampingan dengan Elma. Entah mengapa kakiku merasa agak gugup untuk melangkah ke sana, meski begitu aku tetap menghampirinya. Aku duduk di sebelah kanan Harun. Elma duduk di sebelah kiri Harun. Jika digambarkan, kelas Kami terdiri dari dua sisi, sisi kanan dan kiri. Posisiku di bangku terdepan paling kanan tepat di dekat lorong kelas yang menghubungkan sisi kiri dan kanan kelas.
Selama 15 menit menunggu, Aku dan Harun banyak berbincang mengenai tugas dan urusan kuliah lainnya. Entah mengapa sepanjang waktu itu pula tak sekali pun Elma ikut nimbrung dalam pembicaraan Kami. Padahal biasanya Ia selalu aktif jika membahas tentang urusan kuliah. Ia hanya sibuk memandangi buku-buku catatannya. Di sisi lain Aku cukup lega karena Harun nampak tidak curiga sama sekali atas apa pun yang terjadi kemarin. Wajahnya masih seriang biasanya.
Sepanjang kelas, Aku sesekali turut mencuri pandang ke arah wajah dan dada Elma yang terlihat timbul dari sweater berwarna birunya. Ku bandingkan wajahnya pagi ini dengan wajahnya kemarin kala sedang menikmati jilatanku di payudaranya. Ku bayangkan pula sweaternya tersingkap sehingga menampilkan payudaranya yang tak habisnya kupandangi kemarin. Mendadak penisku jadi keras lagi. Untung saja Aku menggunakan buku kuliah untuk menutupinya dari atas.
Setelah kelas Kami nongkrong berempat di kantin. Aku, Harun, Elma, dan Aurel. Aurel merupakan sahabat Elma yang pada akhirnya jadi akrab denganku dan Harun juga. Hampir tiap nongkrong formasi Kami seperti ini. Harun duduk di sebelah kananku dengan Elma duduk di hadapannya, sedangkan Aurel duduk di hadapanku. Hanya saja sepanjang kelas tadi Aku tidak melihat Aurel duduk di mana. Mungkin karena terlalu fokus memerhatikan Elma.
“Harun!” terdengar sebuah teriakan dari belakang kami.
Ternyata dari rombongan teman-teman lamanya. Meski memasang wajah mendengus, Harun tetap menyusul ke sana. “Bentar ya,” katanya pada Kami.
“Kamu kok diam aja seharian El?” Tanya Aurel membuka obrolan setelah Harun pergi. Hatiku sedikit bersorak saat Ia menanyakan itu. Jujur Aku juga penasaran.
“Hah? Ga kok, lagi mikirin tugas aja,” jawab Elma, tepat pada saat itu matanya memberikan tatapan ganjil ke wajahku. Entah apa maknanya, tatapan itu membuat pipiku merah.
“Ga usah mikirin tugas mulu lah. Mikirin Harun noh sana,” ujar Aurel sambil menunjuk ke arah Harun. Benar saja, saat itu Harun terlihat bercanda berdua dengan Amanda, mahasiswi yang dianggap sebagai bidadari angkatan Kami. Banyak senior yang mencoba memikat Amanda namun sejauh yang ku ketahui sampai saat ini Ia masihlah jomlo. Satu lagi alasan mengapa Harun mengurangi intensitas nongkrong dengan teman-teman bekennya adalah karena kecemburuan Elma pada Amanda yang terlalu menempel pada suaminya itu.
Ucapan itu tidak membuat perubahan pada wajah Elma. Ia hanya menengok sesaat sebelum akhirnya diam lagi. Satu yang tak diketahui Aurel saat itu, dari bawah meja jari kaki Elma sedang menyentuh kaki kananku, seakan memberi kode. Ku pikir meski merasa tak suka Harun dengan Amanda berdekatan seperti itu, Ia juga masih sadar diri atas perbuatannya kemarin.
“Apa sih Rel, namanya juga teman wajar kalau akrab kayak gitu,” timpaku mencoba membela Harun.
“Ya kan Aku cuma suruh Elma mikirin Harun aja. Ga ada yang suruh mikirin dia dekat sama Amanda. Emang salah ya istri mikirin suami sendiri?” dalihnya sambil memeletkan lidah ke arahku. Aurel memang lebih cerewet dan blak-blakan. Sama seperti Harun, Ia juga memiliki banyak teman di luar kelompok kami. Sifat supelnya membuatnya dikenal oleh banyak orang bahkan oleh para senior pun. Aku juga tak paham betul kenapa dia lebih sering nongkrong dengan kelompok Kami yang dipenuhi oleh kutu buku sepertiku dan Elma.
“Hih Aurel,” Elma gemas sambil memukul kecil temannya yang satu itu. “Ngegoda mulu kerjaannya, awas aja kalau Kamu ada cowok bakal ku gangguin setiap hari.”
“Aduh Iya, gak lagi,” jawab Aurel sambil menangkis tangan Elma. Tingkah mereka hanya membuatku tersenyum.
“Iya nih Aurel pikirannya aneh-aneh mulu,” timpaku bercanda sembari meminum air putih dari botolku. Namun ternyata candaanku mendapatkan tanggapan yang tidak terduga.
“Yang pikirannya aneh mah Kamu Yo. Dari tadi di kelas tititnya berdiri terus. Gak malu apa?” Pruuttt, ucapannya itu membuat air yang sudah masuk ke mulutku langsung tersemprot keluar. Mengucur bebas ke arah meja dan celanaku. Akibatnya orang-orang di kantin refleks menengok ke arah kami. Hal yang ku pikir bisa ku tutupi dengan baik ternyata masih saja ketahuan.
“A—Apaan sih Rel, ada-ada aja hahaha,” jawabku salah tingkah, ku akhiri dengan tawa canggung untuk menutupi rasa maluku. Kini orang-orang tak lagi menengok ke arah Kami, dan kembali sibuk dengan kegiatannya masing-masing.
“Kamu pikir ga kelihatan apa? Makanya lain kali kalau pikirannya lagi kotor jangan duduk di dekat lorong. Kelihatan banget tau! Ga tau deh yang lain pada merhatiin apa nggak.”
“Jadi Kamu merhatiin Rel?” ucap Elma datar tanpa menampilkan ekspresi, sekali lagi membuatku tersedak. Sialan, bisa mati tersedak Aku di sini.
“E—enggaklah, y—ya si Dio-nya sendiri terlalu heboh nampilinnya, mau ga mau pasti kelihatan,” kini gantian Aurel yang salah tingkah. Elma terus menatapnya dengan tatapan menyelidik.
Bersamaan dengan itu Harun pun kembali ke bangku Kami. Menyelamatkan ku dari situasi yang membuat mati gaya ini.
“Ada apaan nih mejanya basah?”
Bersambung

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

280