Bab 7 Part 7
by Dinda Tirani
17:40,Aug 09,2023
“Ada apaan nih mejanya basah?” tegur Harun dengan ekspresi kebingungan. Yang hanya dijawab oleh Kami dengan senyuman penuh makna.
Sekilas tentang Aurel, ia adalah perempuan keturunan Chinese. Ia berambut pendek seleher yang dibiarkan tergerai, dengan poni yang membuatnya nampak seperti bocah. Tingginya sekitar 157 cm. Postur tubuhnya sebenarnya biasa saja, dengan payudara dan bokong yang mungkin berukuran tidak besar. Namun karena sering mengenakan rok selutut yang ketat dan kemeja yang dua kancingnya dibuka, sehingga Ia cukup populer sebagai perempuan seksi di angkatan kami.
Apalagi seperti yang ku jelaskan sebelumnya, Aurel ialah orang yang supel dan blak-blakan sehingga memiliki jaringan yang luas di kampus. Banyak juga lelaki yang sering sok akrab denganku hanya agar bisa duduk di dekat dengan Aurel. Hanya saja sifat tak acuh Aurel membuat mereka mundur perlahan-lahan. Jika Elma memiliki wajah Indonesia yang ayu dengan kulit yang coklat muda, Aurel ini memiliki wajah menawan oriental dengan kulit putih yang khas.
Waktu menunjukkan pukul 5 sore saat Aku tiba di rumah. Di rumah hanya ada Kak Sasha yang pulang terlebih dahulu. Tidak seperti biasanya kala Ia hanya berdekam di kamar seharian, kali ini Ia menghampiriku yang sedang duduk di sofa sambil membaca novel karangan Mario Vargas Llosa yang berjudul The Green House. Kehadirannya yang mendadak duduk di sebelahku membuat fokusku sedikit buyar. Wajahnya terlihat begitu manis dengan kacamata bergagang abu-abu. Kak Sasha hanya mengenakan kaos berukuran kebesaran dan celana pendek.
Satu hal yang belum ku sampaikan, Kak Sasha adalah idolaku dari kecil bahkan mungkin masih sampai saat ini. Saat kecil dulu Aku sering memimpikan agar bisa berjodoh dengan sepupuku ini. Harapan yang tentu saja mustahil. Mungkin rasa taksir itu pulalah yang membuat Aku jadi begitu canggung sehingga jarang ngobrol dengannya lagi. Masih jelas di kepala Kami berdua akan keakraban di masa lalu, mulai dari liburan bareng hingga tidur berdua kala itu. Nissa yang masih kecil kala itu merupakan anak mami sehingga selalu tidur berdua dengan Mama.
“Kamu gak sama Nissa Yo?”
“Nggak, katanya dia diantar temennya.”
“Oh…” jawabnya santai. Namun yang tak ku duga adalah, mendadak Ia membaringkan kepalanya di pahaku. Dengan posisi berbaring Ia meluruskan kakinya ke sandaran kursi. Memamerkan paha dan kaki panjangnya yang begitu cerah. Celananya benar-benar pendek seakan hanya menutupi sampai pangkal paha saja.
Tubuhku langsung tertegun kaku, tidak tahu harus bertindak apa atas perbuatannya yang mendadak itu. Akhirnya Aku pun lanjut membaca buku untuk menutupi rasa canggungku. Sial, Aku tak bisa lagi fokus pada huruf-huruf yang berbaris di buku.
“Kita udah jarang ngobrol ya sekarang Yo,” ucapnya, membuka percakapan.
“Iya Kak,” balasku, bingung sebenarnya harus menjawab seperti apa pernyataan itu.
“Padahal dulu dekat banget sampai sering tidur bareng.”
“Hahahaha—,” tawaku canggung, “Iya Kak, kayaknya sejak Kakak datang kuliah ke sini kita jadi ngejauh.”
“Iya kan? Sekarang Kamu sudah mau dewasa. Lihat badanmu nih Yo, macho banget,” jawabnya sambil memijat pergelangan tanganku.
Entah keberanian dari mana yang ku dapatkan, setelah menutup novelku, tanganku langsung mengelus rambut Kak Sasha pelan. Rambutnya begitu halus dan tebal. Sepertinya elusan itu membuatnya nyaman karena Ia tak bereaksi sama sekali atas atas perbuatanku.
“Kamu ada pacar gak sekarang?” tanyanya. Kini kedua matanya menatap fokus ke wajahku dari bawah.
“Ga ada, kalau Kak Sasha?”
“Gak ada juga Yo,” jawabnya, jemarinya kini mulai bergerak di lenganku, naik perlahan hingga naik ke sisi lengan kaosku.
“Masa sih… masa orang seperti Kak Sasha ga ada pacarnya,” timpaku.
“Hahaha, ya emang Aku orang seperti apa sih?”
“Kak Sasha itu cantik, tinggi, pintar lagi, kalau Aku teman sekelas Kakak di S2 mungkin udah bakal nembak dari dulu,” ucapku, entah mengapa secara pasif agresif Aku mulai menumpahkan isi hatiku yang sebenarnya pada sepupuku itu.
“Oh ya? Kenapa harus jadi teman kelas Kakak buat nembak?” jawabnya. Aku menunggu senyuman meledeknya keluar, namun tidak, wajahnya nampak serius. Ekspresinya dingin seakan benar-benar menanyakan.
“Ya soal— soalnya pasti Mama ga ngizinin kalau Aku pacaran sama Kakak,” sialan, kenapa jawabanku seperti anak SD seperti ini? Memang benar kalau Aku masih perlu belajar cara komunikasi yang tepat. Masa di saat seperti ini masih saja nyinggung-nyinggung tentang orang tua.
“Kalau sama Tante Dian kan bisa dibicarakan. Tante kan tahu Aku anaknya gimana Kamu anaknya gimana,” jawabnya, masih dengan wajah yang serius. Aku menatapnya lekat, mencari tahu apakah Ia sedang menjebakku atau apa? Di sisi lain, jemarinya masih meremas-remas lengan atasku dan beberapa kali menyentuh ketiakku.
Tanganku yang sebelumnya hanya mengelus rambutnya kini balik meraba lengannya. Jemariku ku buat naik perlahan hingga memasuki sisi lengan kaosnya. Meraba lengannya yang mulus dan empuk membuat penisku setengah berdiri. Aku menyentuh ke arah ketiaknya yang ditumbuhi oleh bulu-bulu halus, dan memainkannya dengan jari-jariku hingga wajah Kak Sasha memerah.
“Emang Kak Sasha mau sama orang kayak Aku?” tanyaku, kini rasa grogiku mulai pudar. Keberanian mulai tumbuh dalam diriku. Ku dekatkan wajahku dengan wajahnya secara perlahan.
“A—aku, Hhhhh,” Ia mengeluarkan desahan. Karena pada saat yang sama lenganku sudah masuk ke dalam celah kaosnya. Menyentuh bra, dan meraba payudaranya dari luar. Ku elus pelan celah-celah payudaranya yang tidak tertutupi bra. Tanganku mulai memutari lekuk payudaranya seakan sedang mengukur bulatan milik kakak sepupuku itu. Ukuran payudaranya sedikit lebih besar dibandingkan milik Elma jika ku takar.
Kini wajahnya benar-benar merona merah. Nampak hidungnya sedikit kembang kempis seakan menahan deru nafas yang kencang. Wajah Kami sudah saling berdekatan. Karena wajahku dari atas dan Dia dari bawah maka sisi muka kami saling berlawanan. Mataku menatap bibirnya, begitu juga matanya yang berhadapan dengan bibirku.
“T-tangan Kamu Yo,” ucapnya sambil memasukkan tangannya ke dadaku juga. Dengan nakal jarinya mulai memainkan putingku.
“Kak Sasha memangnya mau sama Aku?” ucapku perlahan. Meski terdapat rasa nafsu dalam diriku, kata-kataku juga dipenuhi oleh rasa sayang yang tulus. Sepertinya rasa yang ku pelihara sejak lama belumlah pudar. Kini bibir Kami telah begitu dekat, nafasnya terasa hangat menghantam leherku, begitu juga nafasku yang menghantam lehernya. Ku lihat bibirnya mulai membuka pelan. Jemariku sudah menyentuh sisi atas payudaranya, dan sedang bersiap masuk ke dalam bra Kak Sasha.
Bibir Kami sudah hampir bersentuhan sebelum tiba-tiba ponselku berbunyi. Suara telepon entah dari siapa.
“Angkat dulu,” ucapnya, kini wajah Kami kembali menjauh.
“Nanti aja Kak, paling dari teman.”
“Gapapa angkat dulu,” ucapnya sambil meraih ponselku di meja. “Tuh kan dari Nissa,” dia mengubah posisinya menjadi duduk, membuat tanganku yang sudah hampir bergerilya di payudaranya jadi terlepas keluar.
“Halo,” dengan malas Aku mengangkat telefon itu.
“Kak Dio, huhuhuhu, jemput Nissa di sekolah,” jawab Nissa sambil tersedu. Ah sialan, siapa yang nekat membuat Adikku menangis?
Bersambung
Sekilas tentang Aurel, ia adalah perempuan keturunan Chinese. Ia berambut pendek seleher yang dibiarkan tergerai, dengan poni yang membuatnya nampak seperti bocah. Tingginya sekitar 157 cm. Postur tubuhnya sebenarnya biasa saja, dengan payudara dan bokong yang mungkin berukuran tidak besar. Namun karena sering mengenakan rok selutut yang ketat dan kemeja yang dua kancingnya dibuka, sehingga Ia cukup populer sebagai perempuan seksi di angkatan kami.
Apalagi seperti yang ku jelaskan sebelumnya, Aurel ialah orang yang supel dan blak-blakan sehingga memiliki jaringan yang luas di kampus. Banyak juga lelaki yang sering sok akrab denganku hanya agar bisa duduk di dekat dengan Aurel. Hanya saja sifat tak acuh Aurel membuat mereka mundur perlahan-lahan. Jika Elma memiliki wajah Indonesia yang ayu dengan kulit yang coklat muda, Aurel ini memiliki wajah menawan oriental dengan kulit putih yang khas.
Waktu menunjukkan pukul 5 sore saat Aku tiba di rumah. Di rumah hanya ada Kak Sasha yang pulang terlebih dahulu. Tidak seperti biasanya kala Ia hanya berdekam di kamar seharian, kali ini Ia menghampiriku yang sedang duduk di sofa sambil membaca novel karangan Mario Vargas Llosa yang berjudul The Green House. Kehadirannya yang mendadak duduk di sebelahku membuat fokusku sedikit buyar. Wajahnya terlihat begitu manis dengan kacamata bergagang abu-abu. Kak Sasha hanya mengenakan kaos berukuran kebesaran dan celana pendek.
Satu hal yang belum ku sampaikan, Kak Sasha adalah idolaku dari kecil bahkan mungkin masih sampai saat ini. Saat kecil dulu Aku sering memimpikan agar bisa berjodoh dengan sepupuku ini. Harapan yang tentu saja mustahil. Mungkin rasa taksir itu pulalah yang membuat Aku jadi begitu canggung sehingga jarang ngobrol dengannya lagi. Masih jelas di kepala Kami berdua akan keakraban di masa lalu, mulai dari liburan bareng hingga tidur berdua kala itu. Nissa yang masih kecil kala itu merupakan anak mami sehingga selalu tidur berdua dengan Mama.
“Kamu gak sama Nissa Yo?”
“Nggak, katanya dia diantar temennya.”
“Oh…” jawabnya santai. Namun yang tak ku duga adalah, mendadak Ia membaringkan kepalanya di pahaku. Dengan posisi berbaring Ia meluruskan kakinya ke sandaran kursi. Memamerkan paha dan kaki panjangnya yang begitu cerah. Celananya benar-benar pendek seakan hanya menutupi sampai pangkal paha saja.
Tubuhku langsung tertegun kaku, tidak tahu harus bertindak apa atas perbuatannya yang mendadak itu. Akhirnya Aku pun lanjut membaca buku untuk menutupi rasa canggungku. Sial, Aku tak bisa lagi fokus pada huruf-huruf yang berbaris di buku.
“Kita udah jarang ngobrol ya sekarang Yo,” ucapnya, membuka percakapan.
“Iya Kak,” balasku, bingung sebenarnya harus menjawab seperti apa pernyataan itu.
“Padahal dulu dekat banget sampai sering tidur bareng.”
“Hahahaha—,” tawaku canggung, “Iya Kak, kayaknya sejak Kakak datang kuliah ke sini kita jadi ngejauh.”
“Iya kan? Sekarang Kamu sudah mau dewasa. Lihat badanmu nih Yo, macho banget,” jawabnya sambil memijat pergelangan tanganku.
Entah keberanian dari mana yang ku dapatkan, setelah menutup novelku, tanganku langsung mengelus rambut Kak Sasha pelan. Rambutnya begitu halus dan tebal. Sepertinya elusan itu membuatnya nyaman karena Ia tak bereaksi sama sekali atas atas perbuatanku.
“Kamu ada pacar gak sekarang?” tanyanya. Kini kedua matanya menatap fokus ke wajahku dari bawah.
“Ga ada, kalau Kak Sasha?”
“Gak ada juga Yo,” jawabnya, jemarinya kini mulai bergerak di lenganku, naik perlahan hingga naik ke sisi lengan kaosku.
“Masa sih… masa orang seperti Kak Sasha ga ada pacarnya,” timpaku.
“Hahaha, ya emang Aku orang seperti apa sih?”
“Kak Sasha itu cantik, tinggi, pintar lagi, kalau Aku teman sekelas Kakak di S2 mungkin udah bakal nembak dari dulu,” ucapku, entah mengapa secara pasif agresif Aku mulai menumpahkan isi hatiku yang sebenarnya pada sepupuku itu.
“Oh ya? Kenapa harus jadi teman kelas Kakak buat nembak?” jawabnya. Aku menunggu senyuman meledeknya keluar, namun tidak, wajahnya nampak serius. Ekspresinya dingin seakan benar-benar menanyakan.
“Ya soal— soalnya pasti Mama ga ngizinin kalau Aku pacaran sama Kakak,” sialan, kenapa jawabanku seperti anak SD seperti ini? Memang benar kalau Aku masih perlu belajar cara komunikasi yang tepat. Masa di saat seperti ini masih saja nyinggung-nyinggung tentang orang tua.
“Kalau sama Tante Dian kan bisa dibicarakan. Tante kan tahu Aku anaknya gimana Kamu anaknya gimana,” jawabnya, masih dengan wajah yang serius. Aku menatapnya lekat, mencari tahu apakah Ia sedang menjebakku atau apa? Di sisi lain, jemarinya masih meremas-remas lengan atasku dan beberapa kali menyentuh ketiakku.
Tanganku yang sebelumnya hanya mengelus rambutnya kini balik meraba lengannya. Jemariku ku buat naik perlahan hingga memasuki sisi lengan kaosnya. Meraba lengannya yang mulus dan empuk membuat penisku setengah berdiri. Aku menyentuh ke arah ketiaknya yang ditumbuhi oleh bulu-bulu halus, dan memainkannya dengan jari-jariku hingga wajah Kak Sasha memerah.
“Emang Kak Sasha mau sama orang kayak Aku?” tanyaku, kini rasa grogiku mulai pudar. Keberanian mulai tumbuh dalam diriku. Ku dekatkan wajahku dengan wajahnya secara perlahan.
“A—aku, Hhhhh,” Ia mengeluarkan desahan. Karena pada saat yang sama lenganku sudah masuk ke dalam celah kaosnya. Menyentuh bra, dan meraba payudaranya dari luar. Ku elus pelan celah-celah payudaranya yang tidak tertutupi bra. Tanganku mulai memutari lekuk payudaranya seakan sedang mengukur bulatan milik kakak sepupuku itu. Ukuran payudaranya sedikit lebih besar dibandingkan milik Elma jika ku takar.
Kini wajahnya benar-benar merona merah. Nampak hidungnya sedikit kembang kempis seakan menahan deru nafas yang kencang. Wajah Kami sudah saling berdekatan. Karena wajahku dari atas dan Dia dari bawah maka sisi muka kami saling berlawanan. Mataku menatap bibirnya, begitu juga matanya yang berhadapan dengan bibirku.
“T-tangan Kamu Yo,” ucapnya sambil memasukkan tangannya ke dadaku juga. Dengan nakal jarinya mulai memainkan putingku.
“Kak Sasha memangnya mau sama Aku?” ucapku perlahan. Meski terdapat rasa nafsu dalam diriku, kata-kataku juga dipenuhi oleh rasa sayang yang tulus. Sepertinya rasa yang ku pelihara sejak lama belumlah pudar. Kini bibir Kami telah begitu dekat, nafasnya terasa hangat menghantam leherku, begitu juga nafasku yang menghantam lehernya. Ku lihat bibirnya mulai membuka pelan. Jemariku sudah menyentuh sisi atas payudaranya, dan sedang bersiap masuk ke dalam bra Kak Sasha.
Bibir Kami sudah hampir bersentuhan sebelum tiba-tiba ponselku berbunyi. Suara telepon entah dari siapa.
“Angkat dulu,” ucapnya, kini wajah Kami kembali menjauh.
“Nanti aja Kak, paling dari teman.”
“Gapapa angkat dulu,” ucapnya sambil meraih ponselku di meja. “Tuh kan dari Nissa,” dia mengubah posisinya menjadi duduk, membuat tanganku yang sudah hampir bergerilya di payudaranya jadi terlepas keluar.
“Halo,” dengan malas Aku mengangkat telefon itu.
“Kak Dio, huhuhuhu, jemput Nissa di sekolah,” jawab Nissa sambil tersedu. Ah sialan, siapa yang nekat membuat Adikku menangis?
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved