Bab 15 #Insiden pembalut
by Hyoki
11:32,Feb 18,2021
Fake Love 12
#we’re just friend? May be more than friend
“duh, perut Adek kok sakit ya?”
“kebanyakan makan pedes tuh pasti kemarenkan?”
Kata Cici mengingatkanku pada makan malam kemarin, tapi seingatku aku hanya makan sedikit. Rasanya sangat aneh.
“gimana ini mau pergi sama Mas Galih lagi”
Mas Rafa memberiku segelas air hangat dan aku menerimanya dan langsung meminumnya.
“di abisin Dek, kalo sakit gak usah pergi mending”
Kata Mas Rafa duduk di sampingku, memegang dahiku untuk memeriksa suhu tubuhku.
“gak panas kok, tapi muka kamu mulai pucet Dek”
“gak papa kok Mas”
Aku menurunkan tangan Mas Rafa dari dahiku
“sekarang tanggal berapa si?”
Tanya Mas Rafa
“kenapa intensif Mas Rafa belum cair ya?”
“duit mulu pikiranmu Ci”
Cici mendelik mendengar perkataan Mas Rafa, dan Mas Rafa mengeluarkan handphonenya kemudian sibuk dengan itu.
Tin tinn
“Mas Galih udah di depan, Adek pergi ya nanti kalo mau pada pergi jangan lupa pintu rumah di kunci”
“siapp ada Mas Rafa ini, diakan satpam komplek Dek”
Cici asal bicara Mas Rafa melemparkan bantal di sampingnya. Aku hanya menggelengkan kepala pada mereka berdua dan berjalan keluar rumahku.
“hey sayang”
“hey juga Mas
Mas Galih menjulurkan tangannya untuk meraih tubuhku. Mas Galih memelukku. Dulu sekali aku sempat tak suka melihat orang berpacaran yang saling memeluk di depan umum seperti ini, tapi sekarang aku malah sering melakukannya.
“ehmmm”
Suaraku jadi sok imut, saat Mas Galih mencubit hidungku gemas. Entah sejak kapan aku bersikap sok manja seperti itu. padahal sebelum menjadi kekasih Mas Galih aku selalu berkata Jijik mendengar suara perempuan sok imut seperti tikus kejepit pintu, begitu aku mengatai mereka. sekarang kata-kata itu berbalik padaku. perempuan mandiri yang selalu menjadi sosok yang kuinginkan kini lenyap sudah apalagi kalau sudah bersama Mas Galih. dulu aku bermanja-manja hanya pada Mas Rama, kakakku atau pada Mas Rafa sahabat, tetangga terbaikku.
Aku masuk kedalam mobil, menatap sesuatu yang berada di jok belakang mobil Mas Galih. sebuah kotak dan satu lagi tak tahu apa.
“apa itu Mas?”
“ah itu bukan apa-apa”
Kata Mas Galih, tak menjawab pertanyaanku. Aku mengerutkan bibirku, Mas Galih seperti menyembunyikan sesuatu dariku.
“kita mau kemana?”
“kemana, liat aja nanti”
Jawab Mas Galih lagi-lagi tak memberi tahuku.
“Mas Galih, kita mau kemana?”
Tanyaku masih belum sampai setelah tiga puluh lima menit perjalanan.
“udah tenang aja, tempatnya bagus kok. Adek pasti suka”
“kalo Adek gak suka gimana?”
Tanyaku, Mas Galih menatapku.
“Adek hari ini lebih bawel dari biasanya”
“Adek Cuma nanya, malah di bilang bawel”
Kataku, dan mengalihkan pandangan pada sisi jendela mobil.
“aiguuu, sensitive banget si”
Mas Galih mencubit pipiku, aku hanya mengabaikannya. Tak lama aku melihat garis pantai dan warna biru lautan. Tak bertanya, aku hanya menatap Mas Galih. Mas Galih melemparkan senyum padaku. Dan tak lama aku sudah berhenti di parkiran sebuah resort. Mas Galih membuka sabuk pengamanku dan keluar lebih dulu. Kemudian Mas Galih membuka pintu belakang mobil dan membawa kotak juga bingkisan dari sana.
“ayo”
Mas Galih berjalan lebih dulu dan aku hanya mengikutinya tak mengerti. Berjalan sampai ke area terbuka resort. View pantai dan senja sangat cantic sekali. Mas Galih menaruh kotak yang tadi di bawanya dan memundurkan kursi, menatapku mempersilahkanku duduk disana.
“Mas apa si?”
Tanyaku malu, di sisiku ada beberapa pelayan yang berdiri memperhatikanku dan Mas Galih.
Cup
Mas Galih mengecupku didepan para pelayan itu,
“ih malu di liatin juga”
“bodo amat”
Tangan Mas Galih membuka kotak yang tadi di bawanya. Cake bertuliskan happy 100 days relationship. Aku menutup mulutku tak percaya.
“Mas Galih ya ampun!”
Mas Galih tersenyum sangat bahagia di hadapanku, aku bahkan tak menghitung hari selama berpacaran dengannya. tapi Mas Galih sampai mengingat dan merayakan hari jadi ke-100 bersamaku. Tak lama kembang api bertebaran di langit pantai,
“wah Mas Galihh”
Mataku mulai berair, aku terharu dengan semua yang dilakukannya. Mas Galih berdiri dan mendekat kekursiku. Berjongkok dan memelukku. Aku menciumnya.
“makasih”
“loh kok nangis”
Mas Galih menghapus air mata yang menetes dan membasahi pipiku.
“gara-gara Mas Galih”
“suka?”
“bangett, makasih Mas Galih. sweet banget sayang”
Kataku,
“yaudah jangan nangis”
“gak tau, gak bisa berhenti”
Aku tak tahu apa yang salah dengan diriku hari itu. moodku naik turun, sensitive sekali tadi ingin sekali aku marah gara-gara Mas Galih tak menjawab pertanyaanku, dan sekarang aku ingin menangis padahal itu seharusnya bukan sesuatu untuk di tangisi.
“happy 100 days Adek, Mas harap angkanya sampai tak terhingga”
Tadi aku malu mengetahui ada pelayan yang memperhatikan, tapi sekarang aku tak peduli, aku mencium bibir Mas Galih. Mas Galih menatapku, menyampaikan rambutku di belakang telingaku dan membelai lembut wajahku.
“Mas beruntung punya pacar kaya kamu Dek”
Aku tersenyum, Mas Galih sangat hebat membuatku tersipu. Aku hanya bisa tersenyum, sangat mengembang. Pertama kalinya aku mendapat hal manis seperti ini. tahu pacaran akan seindah ini aku akan melakukannya sejak lama.
Tapi ada hal yang menggangguku, perutku masih saja sakit. Itu sangat mengesalkan, aku tak bisa mengatakan sakit perutku pada Mas Galih, itu akan merusak momen indah ini. Mas Galih dan aku berjalan-jalan di pasir. Mas Galih dan aku bermain-main dengan ombak-ombak kecil di pantai itu. sesekali jahil saling menyipratkan air pantai. Aku berlari dari Mas Galih, tapi tentu saja tak jauh karena Mas Galih selalu menangkapku, membuatku tetap bersamanya.
“aaaa!! Mas Galih turunin Adek”
Mas Galih mengankat tubuhku dan membuatnya berputar-putar. Mas Galih sangat ceria sekali hingga memangkuku seperti itu. aku menatap Mas Galih, ku lekatkan keningku pada keningnya. Hidungku bertemu dengan hidung mancungnya.
“Dek, kamu gak enak badan?”
Tanya Mas Galih sambil menurunkanku.
“ehm, perut Adek gak enak tapi gak papa kok”
“serius?”
“tapi kayaknya Adek harus ke toilet deh Mas”
Kataku, Mas Galih melihat sekeliling dan menemukan toilet untukku.
“ayo Mas anter”
Raut mukanya jadi berubah serius, lebih ke eskpresi khawatir. Tanganku di genggamnya sampai kedepan toilet wanita. Sampai di dalam, ku lihat ada bercak darah dari celana dalamku.
“akhhh kenapa harus hari ini?”
Kesalku,
“pantes aja dari tadi aku sensitive banget, tapi aku gak bawa pembalut lagi”
Aku bingung harus berbuat apa. Lama aku berdiri di dalam toilet.
“Dek, Adek”
Mas Galih memanggilku. Sepertinya Mas Galih masuk kedalam toilet perempuan,
“Mas”
Panggilku padanya
“Adek gak papa?”
Tanyanya dari pintu bilik toilet.
“gak papa Mas tapi Adek-“
Ragu aku harus memberitahunya atau tidak.
“kenapa? Adek kenapa jangan bikin Mas khawatir”
Mas Galih memgang pegangan pintu bilik toilet itu.
“Adek dapet Mas”
Akhirnya ku katakana padanya.
“ahh terus gimana? Sakit?”
“ehm masalahnya Adek gak bawa itu”
“apa?”
Tanyanya tak sabaran
“pembalut”
.....
-
-
-
#we’re just friend? May be more than friend
“duh, perut Adek kok sakit ya?”
“kebanyakan makan pedes tuh pasti kemarenkan?”
Kata Cici mengingatkanku pada makan malam kemarin, tapi seingatku aku hanya makan sedikit. Rasanya sangat aneh.
“gimana ini mau pergi sama Mas Galih lagi”
Mas Rafa memberiku segelas air hangat dan aku menerimanya dan langsung meminumnya.
“di abisin Dek, kalo sakit gak usah pergi mending”
Kata Mas Rafa duduk di sampingku, memegang dahiku untuk memeriksa suhu tubuhku.
“gak panas kok, tapi muka kamu mulai pucet Dek”
“gak papa kok Mas”
Aku menurunkan tangan Mas Rafa dari dahiku
“sekarang tanggal berapa si?”
Tanya Mas Rafa
“kenapa intensif Mas Rafa belum cair ya?”
“duit mulu pikiranmu Ci”
Cici mendelik mendengar perkataan Mas Rafa, dan Mas Rafa mengeluarkan handphonenya kemudian sibuk dengan itu.
Tin tinn
“Mas Galih udah di depan, Adek pergi ya nanti kalo mau pada pergi jangan lupa pintu rumah di kunci”
“siapp ada Mas Rafa ini, diakan satpam komplek Dek”
Cici asal bicara Mas Rafa melemparkan bantal di sampingnya. Aku hanya menggelengkan kepala pada mereka berdua dan berjalan keluar rumahku.
“hey sayang”
“hey juga Mas
Mas Galih menjulurkan tangannya untuk meraih tubuhku. Mas Galih memelukku. Dulu sekali aku sempat tak suka melihat orang berpacaran yang saling memeluk di depan umum seperti ini, tapi sekarang aku malah sering melakukannya.
“ehmmm”
Suaraku jadi sok imut, saat Mas Galih mencubit hidungku gemas. Entah sejak kapan aku bersikap sok manja seperti itu. padahal sebelum menjadi kekasih Mas Galih aku selalu berkata Jijik mendengar suara perempuan sok imut seperti tikus kejepit pintu, begitu aku mengatai mereka. sekarang kata-kata itu berbalik padaku. perempuan mandiri yang selalu menjadi sosok yang kuinginkan kini lenyap sudah apalagi kalau sudah bersama Mas Galih. dulu aku bermanja-manja hanya pada Mas Rama, kakakku atau pada Mas Rafa sahabat, tetangga terbaikku.
Aku masuk kedalam mobil, menatap sesuatu yang berada di jok belakang mobil Mas Galih. sebuah kotak dan satu lagi tak tahu apa.
“apa itu Mas?”
“ah itu bukan apa-apa”
Kata Mas Galih, tak menjawab pertanyaanku. Aku mengerutkan bibirku, Mas Galih seperti menyembunyikan sesuatu dariku.
“kita mau kemana?”
“kemana, liat aja nanti”
Jawab Mas Galih lagi-lagi tak memberi tahuku.
“Mas Galih, kita mau kemana?”
Tanyaku masih belum sampai setelah tiga puluh lima menit perjalanan.
“udah tenang aja, tempatnya bagus kok. Adek pasti suka”
“kalo Adek gak suka gimana?”
Tanyaku, Mas Galih menatapku.
“Adek hari ini lebih bawel dari biasanya”
“Adek Cuma nanya, malah di bilang bawel”
Kataku, dan mengalihkan pandangan pada sisi jendela mobil.
“aiguuu, sensitive banget si”
Mas Galih mencubit pipiku, aku hanya mengabaikannya. Tak lama aku melihat garis pantai dan warna biru lautan. Tak bertanya, aku hanya menatap Mas Galih. Mas Galih melemparkan senyum padaku. Dan tak lama aku sudah berhenti di parkiran sebuah resort. Mas Galih membuka sabuk pengamanku dan keluar lebih dulu. Kemudian Mas Galih membuka pintu belakang mobil dan membawa kotak juga bingkisan dari sana.
“ayo”
Mas Galih berjalan lebih dulu dan aku hanya mengikutinya tak mengerti. Berjalan sampai ke area terbuka resort. View pantai dan senja sangat cantic sekali. Mas Galih menaruh kotak yang tadi di bawanya dan memundurkan kursi, menatapku mempersilahkanku duduk disana.
“Mas apa si?”
Tanyaku malu, di sisiku ada beberapa pelayan yang berdiri memperhatikanku dan Mas Galih.
Cup
Mas Galih mengecupku didepan para pelayan itu,
“ih malu di liatin juga”
“bodo amat”
Tangan Mas Galih membuka kotak yang tadi di bawanya. Cake bertuliskan happy 100 days relationship. Aku menutup mulutku tak percaya.
“Mas Galih ya ampun!”
Mas Galih tersenyum sangat bahagia di hadapanku, aku bahkan tak menghitung hari selama berpacaran dengannya. tapi Mas Galih sampai mengingat dan merayakan hari jadi ke-100 bersamaku. Tak lama kembang api bertebaran di langit pantai,
“wah Mas Galihh”
Mataku mulai berair, aku terharu dengan semua yang dilakukannya. Mas Galih berdiri dan mendekat kekursiku. Berjongkok dan memelukku. Aku menciumnya.
“makasih”
“loh kok nangis”
Mas Galih menghapus air mata yang menetes dan membasahi pipiku.
“gara-gara Mas Galih”
“suka?”
“bangett, makasih Mas Galih. sweet banget sayang”
Kataku,
“yaudah jangan nangis”
“gak tau, gak bisa berhenti”
Aku tak tahu apa yang salah dengan diriku hari itu. moodku naik turun, sensitive sekali tadi ingin sekali aku marah gara-gara Mas Galih tak menjawab pertanyaanku, dan sekarang aku ingin menangis padahal itu seharusnya bukan sesuatu untuk di tangisi.
“happy 100 days Adek, Mas harap angkanya sampai tak terhingga”
Tadi aku malu mengetahui ada pelayan yang memperhatikan, tapi sekarang aku tak peduli, aku mencium bibir Mas Galih. Mas Galih menatapku, menyampaikan rambutku di belakang telingaku dan membelai lembut wajahku.
“Mas beruntung punya pacar kaya kamu Dek”
Aku tersenyum, Mas Galih sangat hebat membuatku tersipu. Aku hanya bisa tersenyum, sangat mengembang. Pertama kalinya aku mendapat hal manis seperti ini. tahu pacaran akan seindah ini aku akan melakukannya sejak lama.
Tapi ada hal yang menggangguku, perutku masih saja sakit. Itu sangat mengesalkan, aku tak bisa mengatakan sakit perutku pada Mas Galih, itu akan merusak momen indah ini. Mas Galih dan aku berjalan-jalan di pasir. Mas Galih dan aku bermain-main dengan ombak-ombak kecil di pantai itu. sesekali jahil saling menyipratkan air pantai. Aku berlari dari Mas Galih, tapi tentu saja tak jauh karena Mas Galih selalu menangkapku, membuatku tetap bersamanya.
“aaaa!! Mas Galih turunin Adek”
Mas Galih mengankat tubuhku dan membuatnya berputar-putar. Mas Galih sangat ceria sekali hingga memangkuku seperti itu. aku menatap Mas Galih, ku lekatkan keningku pada keningnya. Hidungku bertemu dengan hidung mancungnya.
“Dek, kamu gak enak badan?”
Tanya Mas Galih sambil menurunkanku.
“ehm, perut Adek gak enak tapi gak papa kok”
“serius?”
“tapi kayaknya Adek harus ke toilet deh Mas”
Kataku, Mas Galih melihat sekeliling dan menemukan toilet untukku.
“ayo Mas anter”
Raut mukanya jadi berubah serius, lebih ke eskpresi khawatir. Tanganku di genggamnya sampai kedepan toilet wanita. Sampai di dalam, ku lihat ada bercak darah dari celana dalamku.
“akhhh kenapa harus hari ini?”
Kesalku,
“pantes aja dari tadi aku sensitive banget, tapi aku gak bawa pembalut lagi”
Aku bingung harus berbuat apa. Lama aku berdiri di dalam toilet.
“Dek, Adek”
Mas Galih memanggilku. Sepertinya Mas Galih masuk kedalam toilet perempuan,
“Mas”
Panggilku padanya
“Adek gak papa?”
Tanyanya dari pintu bilik toilet.
“gak papa Mas tapi Adek-“
Ragu aku harus memberitahunya atau tidak.
“kenapa? Adek kenapa jangan bikin Mas khawatir”
Mas Galih memgang pegangan pintu bilik toilet itu.
“Adek dapet Mas”
Akhirnya ku katakana padanya.
“ahh terus gimana? Sakit?”
“ehm masalahnya Adek gak bawa itu”
“apa?”
Tanyanya tak sabaran
“pembalut”
.....
-
-
-
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved