Bab 10 Part 10

by Dinda Tirani 21:06,May 08,2024
"Tiiidak, Ning." Jawabku berusaha menatap wajahnya, hatiku berdesir aneh karena wajahnya begitu dekat dengan wajahku sehingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya yang hangat.

"Kamu sudah tahu rahasia kelam masa lalu kami, seharusnya kamu pergi dari sini agar rahasia kami tetap tertutup rapat. Tapi aku takut kalau kamu pergi, justru kamu akan menceritakan masa lalu kami ke orang lain di luar sana." Kata Ning Ishma, tangannya yang halus menyentuh pipiku membuat tubuhku gemetar. Inilah pertama kali seorang wanita menyentuh pipiku dan yang melakukannya, wanita terhormat anak seorang Kyai besar.

"Saya janji, Ning ..!" Suaraku bergetar berusaha meyakinkan Ning Ishma, dia berhasil membuatku ketakutan.

"Aku tidak percaya mulut lelaki, mulut mereka terlalu berbisa. Sama berbisanya dengan pria yang sudah merenggut keperawananku, lalu mencampakkan ku begitu saja." Jawab Ning Ishma, tangannya yang halus bergerak mengusap sekujur wajahku, bergeser ke leherku.

"Ning...!" Bulu kudukku berdiri, entah apa yang kurasakan.? Rasa takut berpadu dengan gairah yang tidak kumengerti.

"Kenapa? Kamu menganggap ku murahan atau wanita nista seperti anggapan Gus Nur sehingga dia tidak mau menyentuh tubuhku?" Tanya Ning Ishma, wajahnya semakin dekat sehingga nyaris menyentuh wajahku.

"Kamu, wanita terhormat, Ning." Aku memalingkan wajahku, tidak berani menatap wajahnya dalam jarak yang terlalu dekat.

"Bohong kamu...!" Nafasku seperti terhenti saat lidah Ning menyentuh wajahku, menjilati wajahku tanpa merasa jijik. Lidahnya yang hangat dan basah terus bergerak menjilati pipiku berulang ulang menimbulkan rasa geli yang membuat sekujur bulu halus di tubuhku berdiri.

"Ning, mau apa?" Tanyaku gelisah, tidak tahu apa yang sedang kurasakan. Bahkan aku tidak berani berpikir tentang apa yang dilakukan Ning Ishma, karena itu hanya akan merendahkan derajatnya yang mulia.

"Menutup, mulutmu." Tubuhku tersentak saat bibir Ning Ishma melumat bibirku, kakiku kehilangan tenaga, reflek aku memegang pundak Ning Ishma saat tubuhku terjatuh kehilangan tenaga. Ning Ishma tidak mampu menahan beban berat tubuhku sehingga dia ikut terjatuh menimpa tubuhku.

"Hahahaha, kamu kenapa Din?" Tawa Ning Ishma lepas, menertawakan keadaan kami yang jatuh terduduk di tanah yang basah.

"Maaf, Ning...!" Seruku merasa malu, tanpa sadar aku memeluknya yang duduk di pangkuanku. Ya Allah, apa yang sudah terjadi pada kami ?

Aku menatap heran melihat Ning Ishma yang terus tertawa di pangkuanku, tubuhnya berguncang dan aku bisa melihat wajahnya yang bahagia.

"Terimakasih Din, belum pernah aku tertawa selepas ini." Bisik Ning Ishma setelah berhasil menghentikan tawanya.

"Iyyyya...!" Kenapa Ning Ishma malah berterimakasih dengan kejadian ini, seharusnya dia marah padaku.

"Gus Nur, datang..!" Seru Ning Ishma saat mendengar suara motor berhenti tepat di depan rumah, bergegas dia berdiri. Wajahnya yang ceria berubah menjadi kusam tanpa bicara dia meninggalkan ku yang duduk terpaku menatap kepergiannya.

Setelah Ning Ishma masuk rumah, barulah aku tersadar dari kejadian yang baru saja kualami. Ini seperti mimpi, untuk memastikannya aku menampar pipiku dengan keras. Rasa sakit dan panas membuatku yakin, kejadian tadi benar benar nyata.

....
"Kang Udin....!" Panggilan lembut membuatku menoleh, ternyata Latifah. Gadis cantik itu berjalan mendekatiku, mau apa lagi dia mencariku.

"Ada apa, Fah?" Aku menatapnya, harus kuakui gadis ini cantik dan menarik terutama saat tersenyum. Aneh, sejak mondok di sini, aku lebih memperhatikan para santriwati. Seingatku selama mondok di Cirebon, aku tidak pernah memperhatikan kecantikan para santriwati.

"Kamu ditunggu Ning Sarah." Kata Latifah memamerkan senyumnya yang menawan, deretan giginya yang putih teratur bersinar seperti mutiara.

"Ning Sarah, ada apa?" Tanyaku heran, hatiku berdesir senang setiap kali mendengar namanya. Nama yang terpatri di dasar hatiku, apakah aku jatuh cinta?

"Nggak tahu, Ning Sarah ada di gardu Utara. Sepertinya, ah sudahlah." Latifah tidak meneruskan perkataannya, dia meninggalkanku. Ya Allah, pantatnya berlenggak lenggok memancing syahwatku.

*Terima kasih.." jawabku ketika tersadar dari pesona pinggulnya.

Aku bergegas ke gardu Utara, memang tujuannku ke rumah Gus Nur yang terletak tidak jauh dari gardu. Dan gardu itu akan kutempati setiap malam hingga hukumanku selesai. Dari kejauhan, aku melihat Ning Sarah duduk seorang diri menungguku, jantungku berdetak semakin kencang dan langkah kakiku menjadi berat.

"Ada apa, Ning ?" Tanyaku setelah bersusah payah menghampirinya, wajahnya yang cantik membuatku tidak berani menatap wajahnya yang asik memandang bunga bunga mawar yang bermekaran di pekarangan rumah Gus Nur.

"Kamu sombong, tidak sekalipun menyapa saat kita berpapasan." Jawab Ning Sarah tanpa melihat ke arahku, jari jarinya yang lentik mempermainkan ujung jilbabnya yang berwarna putih serasi dengan kulitnya yang juga berwarna putih. Kalau saja aku berani menatap wajahnya, aku akan melihat urat biru membayang samar pada pipinya yang halus.

"Sombong? Sepertinya tidak." Jawabku membela diri. Seharusnya Ning Sarah introspeksi diri, yang sombong itu dia bukan malah menuduhku yang sombong. Tidak ada yang bisa kusombongkan selama mondok, karena kami lebih kagum dengan para santri dan santriwati yang berasal dari keluarga ulama atau kami menganggapnya sebagai darah biru dari pada santri atau santriwati yang berasal dari keluarga kaya. Aku tidak berasal dari ke dua golongan itu, ayahku bukan ulama dan juga bukan orang kaya walau dia punya hektaran sawah dan kebun.

"Kamu tidak merasa sejak dari Cirebon tidak sekalipun kamu menyapaku, seakan aku ini tidak pernah ada. Aku masih bersabar dan menganggapmu pemalu, tapi setelah di sini kamu masih saja mengabaikan kehadiranku seakan aku tidak pernah ada. Aku ini anak Abah Yai Nafi', pemimpin pondok pesantren ini, seharusnya kamu menaruh hormat padaku." Jawaban ketus Ning Sarah semakin memperkuat anggapanku bahwa gadis ini sombong, dia begitu bangga dengan apa yang dimilikinya dan tidak kumiliki.

"Ma maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu..!" Jawabku mengalah, tidak ada gunanya berdebat dengan gadis ini, hanya akan mempersulit posisiku selama mondok di sini. Lagi pula dia anak seorang Kyai, setidaknya aku bisa mengharapkan barokah darinya.

Aku hanya merasa heran, hanya persoalan sepele membuat Ning Sarah marah dan merasa tersinggung dengan sikapku. Apa yang salah dengan sikapku ini, kurasa wajar. Toh aku tidak pernah berbuat kurang ajar padanya.

"Kamu nggak peka, setiap santri berlomba mencari perhatianku, kamu tahu itu?" Ning Sarah menjawab ketus, matanya yang tajam menatapku sinis.

"Aku tahu." Sebagai seorang anak Kyai pemimpin pondok, tentu setiap santri akan berlomba mencari perhatiannya dan melakukan apapun tanpa diminta oleh Ning Sarah bahkan aku akan melakukan apa yang diinginkan olehnya.

"Bahkan Kang Zuher sengaja datang padaku dengan kitab yang seharusnya menjadi tanggung jawabmu, tapi aku tolak karena ingin kamu yang melakukannya." Jadi, begitu kejadiannya, Kang Zuber menyusun kitab yang sempat kuangggap hilang agar bisa mendapatkan pujian dari Ning Sarah.

"Aku tidak ngerti maksudmu, Ning." Jawabku jujur, entah apa maksud Ning Sarah mengatakan hal ini padaku. Aku tidak keberatan kalau saja Ning Sarah menerima Kitab dari Kang Zuber, maka tanggung jawabku selesai.

"Kamu keterlaluan....!" Seru Ning Sarah, dia meninggalkan ku begitu saja, wanita yang aneh, aku tidak mengerti apa yang dipikirkannya.

************



Ning Ishma


"Kang, kenapa aku mengerjakannya sendiri?" Protesku ke Kang Zuber yang seenaknya menyerahkan tugas membersihkan dapur yang atapnya kotor dipenuhi sawang sisa pembakaran dari tungku.

"Zuber akan mengantarku ke kota, ada yang akan aku beli di sana." Jawab Gus Nur tiba berada di dapur, membuatku terdiam.

"Iya, maaf Gus." Terpaksa aku menerima tugas ini sendiri dengan perasaan berat, inilah hukuman harus kuterima. Entah ini azab atau berkah, karena hukuman ini aku bisa merasakan kehangatan bibir Ning Ishma.

"Jangan takut, kamu tidak akan mengerjakan semuanya sendiri. Ning Ishma sedang memanggil Zaenab untuk membantu." Membuatku menarik nafas lega, tugasku akan jauh lebih ringan dengan bantuan orang lain. Terlebih orang yang akan membantu tugasku dua gadis cantik, dan aku yakin bukan azab yang kuterima, tapi barokah yang aku dapat.

"Terima kasih, Gus." Aku tersenyum senang, pekerjaan akan lebih ringan apa bila dilakukan dengan dua orang gadis cantik.

"Assalammualaikum..!" Ning Ishma masuk diiringi Zaenab dan Latifah. Melihat Ning Ishma, hatiku berdebar aneh membayangkan kejadian semalam. Entah kejadian itu akan terulang, atau tidak.

"Wa 'alaikum Sallam..!" Kami menjawab berbarengan, aku menunduk pura pura sibuk mengikat sapu lidi pada sebilah bambu untuk membersihkan sawang yang ada di langit langit dapur.



Bersambung

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

327