Bab 1 Part 1

by Dinda Tirani 10:17,Apr 26,2024
PROLOG


Aku Baharuddin, tapi orang lebih mengenalku sebagai Udin si Santri Mbeling yang terpaksa nyantri karena paksaan orang tuaku yang petani.


"Din, Bapak dan Ibu ingin kamu memperdalam ilmu agama di Pesantren." Kata Bapak seperti suara petir, tanpa diiringi angin dan hujan.


"Pesantren..?" Tanyaku kaget, cita citaku ingin jadi seorang tentara dan Bapak sudah tahu sejak lama. Bapak juga yang menyuruhku rajin berolah raga agar bisa diterima saat lulus sekolah nanti dan olah raga murah meriah yang juga menghasilkan adalah olah raga di sawah dan kebun, tapi kenapa bapak seperti ingkar janji dengan menyuruhku jadi santri.


"Iya Din, Bapak dan Ibu ingin kamu jadi seorang Kyai. Bapak sudah menyiapkan kebun seluas 1 hektar untuk dijadikan pesantren setelah kamu lulus nanti." Jawab Ibu meneruskan perkataan Bapak.


"Tapi Udin ingin jadi tentara, Bapak sudah janji." Jawabku mengingatkan janji Bapak yang tidak pernah diucapkan olehnya.


"Bapak tidak pernah janji untuk menjadikanmu sebagai tentara, Bapak cuma bilang kalau pengen jadi Tentara harus sehat fisik dan jasmani. Makanya Bapak suruh kamu rajin ngaji agar menjadi sehat rohani, Bapak suruh kamu olah raga di sawah dan kebun agar fisikmu sehat dan kuat." Jawab Bapak diplomatis, seperti seorang politikus.


"Pikirkan Din, kalau kamu menuntut ilmu agama dan menjadi seorang Kyai, maka kamu akan mendapatkan kehidupan dunia dan akhirat. Kalau kamu mengejar cita citamu jadi Tentara, belum tentu kamu mendapatkan akhirat." Jawab Ibu, harus aku akui keputusan bapak adalah keputusan ibu, begitu juga sebaliknya.


"Kalau kamu jadi Kyai, Bapak dan Ibu punya tabungan untuk dibawa mati." Jawab Bapak menohok hatiku, dia sering membawa urusan mati dalam setiap percakapan kami dan selalu berhasil membuat hatiku luluh.


Singkat cerita, aku akhirnya masuk pesantren setelah lulus SMP. Di Pesantren aku lebih banyak bergaul dengan para santri nakal atau menjadi nakal karena merasa terpaksa masuk pesantren atas desakan ke dua orang tuanya sama seperti yang aku alami. Maka kami dikenal sebagai santri Mbeling


Hingga akhirnya datang seorang tamu yang sangat dimuliakan oleh guru kami dan sekaligus pimpinan pondok pesantren K.H. Hasan atau kami memanggilnya Abah Hasan, tamu itu K.H. Muntaha al-Hafizsl dari daerah Jawa Timur. Dari gelarnya Al-Hafiz, aku tahu dia orang yang hafal Al-Qur'an berikut tafsirnya. Abah Hasan menugaskannya untuk menjemput K.H. Muntaha al-Hafizsl di terminal.


"Di terminal, Abah?" Tanyaku heran, dari nama dan gelarnya K.H. Muntaha al-Hafizsl adalah ulama besar, Abah Hasan sering bercerita tentang beliau dengan perasaan hormat dan kagum akan ilmu dan pemahaman K.H. Muntaha al-Hafizsl.


Aneh kalau aku harus menjemputnya di terminal, itu artinya K.H. Muntaha datang dengan menggunakan Bus Malam. Jauh dari kebiasaan para Kyai besar yang punya pondok pesantren, mereka biasanya selalu menggunakan kendaraan pribadi.


"Itulah keutamaan K.H. Muntaha al-Hafizsl, dia tidak terlena dengan kemawahan dunia yang memabukkan ini." Kata Abah Hasan seperti tahu apa yang sedang kupikirkan.


"Iya Bah, saya pamit." Aku berpamitan untuk menjemput K.H. Muntaha dengan dua orang temanku kami memakai tiga motor untuk menjemput K.H. Muntaha al-Hafizsl, menurut Abah Hasan K.H. Muntaha al-Hafizsl datang dengan dua orang santri kesayangan nya.


Dan sejak itu pandangan hidupku perlahan berubah, sosok dan wajangan K.H. Muntaha al-Hafizsl begitu membekas di hatiku. Salah satu wejangannya yang merubah hidupku adalah :


Tubuh yang kita gunakan untuk beribadah dan berjuang pasti akan rusak, begitu pula saat tubuh kita tidak digunakan untuk berjuang dan beribadah juga akan rusak. Sama-sama rusak, tapi lebih baik'kita gunakan untuk beribadah dan berjuang sehingga hidup kita tidak dia sia. Begitu pesan K.H. Muntaha Al-Hafiz begitu membekas di hatiku, beliau.


Kalimat itu berhasil merubahku yang selama ini mondok di pesantren karena desakan orang tua yang ingin melihatku menjadi seorang ulama, memberikan energi positif kepadaku dan merubah niatku yang selama ini merasa terpaksa menuntut ilmu. Kalimat yang membuatku mulai merasakan nikmatnya menuntut ilmu agama, nikmatnya beribadah saat para santri lain masih terlelap dalam mimpinya. Ya, aku akan selalu berjuang memoerdalam ilmu agamaku dan mencari berkah Kyai. Ternyata menuju jalan kebaikan tidak pernah semudah yang kubayangkan, banyak onak dan duri yang menghadang langkahku, karena tujuan dan tekadku sudah bulat aku memutuskan meninggalkan pesantren tempat yang sudah menggosoknya selama tiga tahun ini. Tujuanku adalah salah satu pesantren di Kota X Utara seperti yang dianjurkan oleh Abah Hasan, Kyai pengasuh pondok pesantren Ar-Roudloh adalah salah satu sahabat Abah Hasan. Di sini aku menghadapi ujian terhebat dalam hidupku, aku terjebak dalam urusan hati yang pelik bernama cinta. Seorang gadis berparas ayu dan berkulit putih bernama Sarah Al-Hana telah menyita perhatianku sejak pertama kali aku datang untuk nyantri di Ar-Roudloh.


***


Bersambung

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

327