Bab 8 TUJUH - WHEN EVERYTHING BEGUN
by Veedrya
10:24,May 01,2021
Ida Tujuh Tahun Lalu
“Ida mau kuliah? Kuliah di Jakarta, Papi udah siapin semuanya.” Papi datang menjenguknya seminggu setelah upacara kelulusan.
Ida datang menemuinya sendirian. Karena Papi sama sekali tidak ingin bertemu Mami, dan Ida butuh bicara dengan Papinya mengenai pendidikannya selanjutnya. Ini kali kedua setelah enam tahun perceraian mereka, Papi menjenguknya. Alasannya biasanya terlalu klasik. Sibuk, sibuk, dan sibuk. Lalu istri barunya hamil, dan dia jadi lebih sibuk dari sibuk. Dan kemudian anak laki - laki kembarnya lahir, dan Papinya menjadi maha sibuk.
Ida sudah tidak mau ambil pusing. Papinya menganggap dia suatu kewajiban yang harus terus dibiayai, tapi tak ingin mengapresiasi apapun. Jadi dia juga akan berlalu sama seperti Papinya. Mengambil, tanpa merasa terbebani.
Tapi kalimat papinya barusan membuatnya kaget. Merusak rencananya!
“Tapi Ida maunya di Jogja, Pi!”
“Kalau Ida mau kuliah di Jogja, Papi nggak akan biayain Ida lagi. Kalo Ida nurut sama Papi, apa mau Ida, semua kebutuhan Ida, Papi kasih.” Jawabnya tenang dan dingin. Seperti sudah menghafal teks.
“Kalo Ida ke Jakarta Mami sama siapa?”
Concern terbesarnya saat ini selain masa depannya adalah Maminya. Maminya sakit. Kanker. Walaupun sekarang masih terlihat sehat di mata orang lain, dan bisa melakukan apapun sendirian, tetap saja Mami sedang sakit. Ida nggak tahu berapa lama lagi waktu bersama Maminya tersisa. Dia nggak ingin meninggalkan Maminya.
“Mami sudah bukan urusan Papi. Kewajiban Papi adalah Ida, sampai Ida menikah nanti. Itu tawaran Papi. Ida boleh pertimbangkan malam ini. Papi di Jogja sampai lusa. Ida tau nomor Papi, Ida tau kemana harus cari Papi.”
Suara jeritan dan teriakan anak - anak dari dalam kamar suite membuat Papinya menoleh, melambai sambil tersenyum pada dua anak laki - lakinya yang belum genap dua tahun. Pemandangan itu membuat Ida menggigit bibirnya dalam, menahan lelehan bening yang mendesak sudut matanya. Sakit.
Dia belum pernah melihat senyum Papinya yang tulus dan penuh kebanggaan seperti itu. Seringnya senyum dingin yang tidak sampai ke mata saat berada di antara orang - orang. Dia kira, dia sudah tidak akan mengharap apapun lagi dari Papinya, selain uangnya. Biar saja orang mengira dia matre, toh itu kewajiban Papinya untuk menafkahi. Selama Papi mampu, dia akan terus meminta.
“Ida pulang dulu. Nanti ida kabarin lagi. Katanya dengan suara tertahan.”
“Ida,” Suara Papinya menghentikan gerakannya membuka pintu kamar. “Terima tawaran Papi, kuliah di Jakarta dan mulai hidup baru disana. Papi janji semua kebutuhan Ida terpenuhi disana.”
Ida pergi setelah Papinya selesai bicara. Hafid yang menunggunya di lobby menghampiri saat dia muncul dari balik lift.
“Udah kelar?” Dia mengangguk kaku. “Abis ini mau kemana?”
“Ikut kamu aja mau kemana.”
“Mau es krim?” Ida tersenyum. Hafid selalu tau cara membuat mood nya kembali naik dengan perhatian kecilnya. “Tandanya mau, nih. Yuk.”
Mereka bermotor menuju kedai es krim legendaris di Jogja, tidak jauh dari hotel tempat Papi menginap. Jalanan Jogja yang lumayan lengang membuat mereka tidak butuh waktu lama untuk sampai disana.
“Kamu masuk dulu, ya. Aku mau ke toilet. Aku pesenin kaya biasa, tolong.” Pinta Hafid sambil memberikan dompetnya.
Selama berpacaran, mereka sering bergantian menraktir satu sama lain. Tergantung dompet siapa yang lebih tebal saat itu dan kebutuhan siapa yang tidak terlalu mendesak. Ida hafal isi dompet Hafid, begitupun sebaliknya.
Ida masuk ke dalam kedai dan mengantri seperti pelanggan lainnya. Saat mendongak, berusaha melihat menu yang ditulis di atas meja kasir, seseorang menyenggol lengannya keras.
“Oh, kamu. Maaf deh.”
“Mbak Hanif.” Ida menyapa ramah, walaupun wajah Kakak perempuan Hafid satu - satunya itu tetap masam. “Nggak nyangka ketemu disini. Sama siapa, Mbak?” sapanya ramah.
“Bukan urusan kamu, kan?” Ida meringis keki. Menggenggam dompet Hafid dengan kedua tangan di depan perutnya. “Kok dompet Hafid ada di kamu? Orangnya kemana? Ditilep nggak itu nanti duitnya?”
Senyum Ida perlahan pudar. Mbak Hanif, memang tidak pernah ramah padanya, sejak dulu. Berbeda saat dengan Icha dan Nisya yang kadang bisa ngobrol santai, dengan Ida selalu saja ketus. Terlebih saat Hafid membawanya pulang dan mengenalkannya sebagai pacar.
“Hafid lagi di toilet, nitip ke aku Mbak, dompetnya.” Jawabnya.
“Nitip apa diminta? Aku heran gitu, kenapa Hafid lengket banget sama kamu. Kamu udah ngapain aja sama dia sampe adikku kasih semua buat kamu? Sampe rela gadai mimpi buat kamu?”
“Maksudnya gimana, Mbak?”
“Nggak usah pura - pura nggak tau, cewek matre. Aku bilang gini karena aku gedek banget sama kalian dan aku gemes sama Hafid juga yang mendadak begok! Dapat beasiswa bagus di UN Malang, malah gak diambil dan milih kuilah di Jogja demi bisa sama-sama kamu?!”
Suara Mbak Hanif yang agak meninggi membuat beberapa orang kini menoleh pada mereka. Ida kaget. Hafid nggak pernah cerita kalau dia dapat tawaran beasiswa di Malang. Dia bilang dia bakal kuliah di salah satu universitas swasta di Jogja dan mengambil jurusan yang dia cita - citakan sejak dulu. Keuangan perbankan.
Karena nggak mau membuat banyak scene di sana, Ida memilih nggak menjawab dan malah menunjuk ke depan. “Maju, Mbak. Giliran Mbak bentar lagi. Yang dibelakang nanti protes.”
Mbak Hanif menggeram marah, tapi menurut tanpa membalas. Meninggalkan Ida yang sekarang sibuk dengan pikirannya.
“Lemon Sorbet, salted caramel sama Kiwi sorbet, dark coffe.” Katanya pada kasir saat gilirannya tiba. Saat dia berbalik dengan pesanannya untuk mencari meja karena Hafid nggak kunjung balik dari toilet, dia malah menemukan cowok itu sudah duduk santai menunggunya di pojokan.
“Kirain kamu pingsan di toilet.”
“Mau nyusul kesitu tapi giliran kamu udah deket, jadi aku cari meja aja. Ada Mbak Hanif tau, lagi sama cowoknya.”
“Iya, tadi ketemu pas ngantri. Mau gabung?” Ida basa basi.
“Nggak. Ngapain. Di rumah ketemu dia di sini masa dia lagi. Kan lagi sama kamu, juga.”
“Yang, kalo aku nggak kuliah di Jogja gimana?”
“Hah? Emang mau kemana? Aku ngikut kamu aja pokoknya. Kamu kemana aku ikut kesitu.”
Ida diam. Hafid memang suka spontan orangnya. Kadang kalo ngomong nggak dipikir dulu. Dia harus hati - hati. Dia menghargai Hafid yang selalu mau menemaninya walaupun selama ini Ida tidak pernah jujur tentang keadaannya.
Papinya amat keras padanya sejak dia kecil. Tidak pernah terang-terangan menunjukkan kasih sayangnya, itu kalau Papi punya. Dan seingatnya, Papi selalu memperlakukan Mami sesuka hati, lebih seperti budak, dari pada teman hidup. Selalu menuntut pengabdian total, dan, meminta Mami untuk melahirkan anak laki - laki. Hal yang Ida tidak pernah bisa mengerti.
Lalu setelah semuanya, ada Papinya yang selingkuh dengan orang yang mereka anggap keluarga dekat, konflik yang berlanjut yang membuat orang tuanya bercerai. Hingga sikap saudara - saudara dari pihak eyangnya disini, yang rata - rata laki - laki, semuanya tidak meninggalkan kesan baik baginya. Dia bahkan bertekad tidak ingin berhubungan dengan makhluk merepotkan berjenis kelamin laki - laki, apalagi sampai menikah. Amit - amit baginya.
Tapi tekadnya hanya bertahan dua minggu setelah dia sampai di Jogja. Icha dan Nisya adalah teman pertamanya. Mereka berbaur dengan alami dan langsung akrab. Tapi butuh waktu lama baginya untuk bisa menerima Azra dan Hafid. Padahal empat orang itu sudah seperti kembar siam, tidak bisa dipisahkan.
Ida tahu dirinya adalah sosok yang rapuh. Hanya saja, dia memiliki ego setinggi langit yang ingin dia pertahankan. Maka dari itu, dia selalu bersembunyi di balik sikap jutek dan judesnya dalam menghadapi semua orang. Hanya pada Nisya, Icha dan Maminya, dia bisa berbicara dengan lembut dan sabar. Seperti dirinya sendiri.
“Aku mau kuliah di Malang aja. Kamu mau ikut?” Tangan Hafid yang sedang menyuap es krim terhenti.
“Malang?”
“Iya. Seru kayaknya, kan. Daripada di Jogja terus.”
“Kenapa Malang?”
“Ya itu tadi.”
“Bukannya kamu mau ke…”
“Kan belum pasti, Yang. Masih bisa berubah. Masih punya waktu sebulan juga ini buat prepare.”
“Ya nggak papa, sih.”
“Kamu ikut juga kalo ke Malang?”
“Ida mau kuliah? Kuliah di Jakarta, Papi udah siapin semuanya.” Papi datang menjenguknya seminggu setelah upacara kelulusan.
Ida datang menemuinya sendirian. Karena Papi sama sekali tidak ingin bertemu Mami, dan Ida butuh bicara dengan Papinya mengenai pendidikannya selanjutnya. Ini kali kedua setelah enam tahun perceraian mereka, Papi menjenguknya. Alasannya biasanya terlalu klasik. Sibuk, sibuk, dan sibuk. Lalu istri barunya hamil, dan dia jadi lebih sibuk dari sibuk. Dan kemudian anak laki - laki kembarnya lahir, dan Papinya menjadi maha sibuk.
Ida sudah tidak mau ambil pusing. Papinya menganggap dia suatu kewajiban yang harus terus dibiayai, tapi tak ingin mengapresiasi apapun. Jadi dia juga akan berlalu sama seperti Papinya. Mengambil, tanpa merasa terbebani.
Tapi kalimat papinya barusan membuatnya kaget. Merusak rencananya!
“Tapi Ida maunya di Jogja, Pi!”
“Kalau Ida mau kuliah di Jogja, Papi nggak akan biayain Ida lagi. Kalo Ida nurut sama Papi, apa mau Ida, semua kebutuhan Ida, Papi kasih.” Jawabnya tenang dan dingin. Seperti sudah menghafal teks.
“Kalo Ida ke Jakarta Mami sama siapa?”
Concern terbesarnya saat ini selain masa depannya adalah Maminya. Maminya sakit. Kanker. Walaupun sekarang masih terlihat sehat di mata orang lain, dan bisa melakukan apapun sendirian, tetap saja Mami sedang sakit. Ida nggak tahu berapa lama lagi waktu bersama Maminya tersisa. Dia nggak ingin meninggalkan Maminya.
“Mami sudah bukan urusan Papi. Kewajiban Papi adalah Ida, sampai Ida menikah nanti. Itu tawaran Papi. Ida boleh pertimbangkan malam ini. Papi di Jogja sampai lusa. Ida tau nomor Papi, Ida tau kemana harus cari Papi.”
Suara jeritan dan teriakan anak - anak dari dalam kamar suite membuat Papinya menoleh, melambai sambil tersenyum pada dua anak laki - lakinya yang belum genap dua tahun. Pemandangan itu membuat Ida menggigit bibirnya dalam, menahan lelehan bening yang mendesak sudut matanya. Sakit.
Dia belum pernah melihat senyum Papinya yang tulus dan penuh kebanggaan seperti itu. Seringnya senyum dingin yang tidak sampai ke mata saat berada di antara orang - orang. Dia kira, dia sudah tidak akan mengharap apapun lagi dari Papinya, selain uangnya. Biar saja orang mengira dia matre, toh itu kewajiban Papinya untuk menafkahi. Selama Papi mampu, dia akan terus meminta.
“Ida pulang dulu. Nanti ida kabarin lagi. Katanya dengan suara tertahan.”
“Ida,” Suara Papinya menghentikan gerakannya membuka pintu kamar. “Terima tawaran Papi, kuliah di Jakarta dan mulai hidup baru disana. Papi janji semua kebutuhan Ida terpenuhi disana.”
Ida pergi setelah Papinya selesai bicara. Hafid yang menunggunya di lobby menghampiri saat dia muncul dari balik lift.
“Udah kelar?” Dia mengangguk kaku. “Abis ini mau kemana?”
“Ikut kamu aja mau kemana.”
“Mau es krim?” Ida tersenyum. Hafid selalu tau cara membuat mood nya kembali naik dengan perhatian kecilnya. “Tandanya mau, nih. Yuk.”
Mereka bermotor menuju kedai es krim legendaris di Jogja, tidak jauh dari hotel tempat Papi menginap. Jalanan Jogja yang lumayan lengang membuat mereka tidak butuh waktu lama untuk sampai disana.
“Kamu masuk dulu, ya. Aku mau ke toilet. Aku pesenin kaya biasa, tolong.” Pinta Hafid sambil memberikan dompetnya.
Selama berpacaran, mereka sering bergantian menraktir satu sama lain. Tergantung dompet siapa yang lebih tebal saat itu dan kebutuhan siapa yang tidak terlalu mendesak. Ida hafal isi dompet Hafid, begitupun sebaliknya.
Ida masuk ke dalam kedai dan mengantri seperti pelanggan lainnya. Saat mendongak, berusaha melihat menu yang ditulis di atas meja kasir, seseorang menyenggol lengannya keras.
“Oh, kamu. Maaf deh.”
“Mbak Hanif.” Ida menyapa ramah, walaupun wajah Kakak perempuan Hafid satu - satunya itu tetap masam. “Nggak nyangka ketemu disini. Sama siapa, Mbak?” sapanya ramah.
“Bukan urusan kamu, kan?” Ida meringis keki. Menggenggam dompet Hafid dengan kedua tangan di depan perutnya. “Kok dompet Hafid ada di kamu? Orangnya kemana? Ditilep nggak itu nanti duitnya?”
Senyum Ida perlahan pudar. Mbak Hanif, memang tidak pernah ramah padanya, sejak dulu. Berbeda saat dengan Icha dan Nisya yang kadang bisa ngobrol santai, dengan Ida selalu saja ketus. Terlebih saat Hafid membawanya pulang dan mengenalkannya sebagai pacar.
“Hafid lagi di toilet, nitip ke aku Mbak, dompetnya.” Jawabnya.
“Nitip apa diminta? Aku heran gitu, kenapa Hafid lengket banget sama kamu. Kamu udah ngapain aja sama dia sampe adikku kasih semua buat kamu? Sampe rela gadai mimpi buat kamu?”
“Maksudnya gimana, Mbak?”
“Nggak usah pura - pura nggak tau, cewek matre. Aku bilang gini karena aku gedek banget sama kalian dan aku gemes sama Hafid juga yang mendadak begok! Dapat beasiswa bagus di UN Malang, malah gak diambil dan milih kuilah di Jogja demi bisa sama-sama kamu?!”
Suara Mbak Hanif yang agak meninggi membuat beberapa orang kini menoleh pada mereka. Ida kaget. Hafid nggak pernah cerita kalau dia dapat tawaran beasiswa di Malang. Dia bilang dia bakal kuliah di salah satu universitas swasta di Jogja dan mengambil jurusan yang dia cita - citakan sejak dulu. Keuangan perbankan.
Karena nggak mau membuat banyak scene di sana, Ida memilih nggak menjawab dan malah menunjuk ke depan. “Maju, Mbak. Giliran Mbak bentar lagi. Yang dibelakang nanti protes.”
Mbak Hanif menggeram marah, tapi menurut tanpa membalas. Meninggalkan Ida yang sekarang sibuk dengan pikirannya.
“Lemon Sorbet, salted caramel sama Kiwi sorbet, dark coffe.” Katanya pada kasir saat gilirannya tiba. Saat dia berbalik dengan pesanannya untuk mencari meja karena Hafid nggak kunjung balik dari toilet, dia malah menemukan cowok itu sudah duduk santai menunggunya di pojokan.
“Kirain kamu pingsan di toilet.”
“Mau nyusul kesitu tapi giliran kamu udah deket, jadi aku cari meja aja. Ada Mbak Hanif tau, lagi sama cowoknya.”
“Iya, tadi ketemu pas ngantri. Mau gabung?” Ida basa basi.
“Nggak. Ngapain. Di rumah ketemu dia di sini masa dia lagi. Kan lagi sama kamu, juga.”
“Yang, kalo aku nggak kuliah di Jogja gimana?”
“Hah? Emang mau kemana? Aku ngikut kamu aja pokoknya. Kamu kemana aku ikut kesitu.”
Ida diam. Hafid memang suka spontan orangnya. Kadang kalo ngomong nggak dipikir dulu. Dia harus hati - hati. Dia menghargai Hafid yang selalu mau menemaninya walaupun selama ini Ida tidak pernah jujur tentang keadaannya.
Papinya amat keras padanya sejak dia kecil. Tidak pernah terang-terangan menunjukkan kasih sayangnya, itu kalau Papi punya. Dan seingatnya, Papi selalu memperlakukan Mami sesuka hati, lebih seperti budak, dari pada teman hidup. Selalu menuntut pengabdian total, dan, meminta Mami untuk melahirkan anak laki - laki. Hal yang Ida tidak pernah bisa mengerti.
Lalu setelah semuanya, ada Papinya yang selingkuh dengan orang yang mereka anggap keluarga dekat, konflik yang berlanjut yang membuat orang tuanya bercerai. Hingga sikap saudara - saudara dari pihak eyangnya disini, yang rata - rata laki - laki, semuanya tidak meninggalkan kesan baik baginya. Dia bahkan bertekad tidak ingin berhubungan dengan makhluk merepotkan berjenis kelamin laki - laki, apalagi sampai menikah. Amit - amit baginya.
Tapi tekadnya hanya bertahan dua minggu setelah dia sampai di Jogja. Icha dan Nisya adalah teman pertamanya. Mereka berbaur dengan alami dan langsung akrab. Tapi butuh waktu lama baginya untuk bisa menerima Azra dan Hafid. Padahal empat orang itu sudah seperti kembar siam, tidak bisa dipisahkan.
Ida tahu dirinya adalah sosok yang rapuh. Hanya saja, dia memiliki ego setinggi langit yang ingin dia pertahankan. Maka dari itu, dia selalu bersembunyi di balik sikap jutek dan judesnya dalam menghadapi semua orang. Hanya pada Nisya, Icha dan Maminya, dia bisa berbicara dengan lembut dan sabar. Seperti dirinya sendiri.
“Aku mau kuliah di Malang aja. Kamu mau ikut?” Tangan Hafid yang sedang menyuap es krim terhenti.
“Malang?”
“Iya. Seru kayaknya, kan. Daripada di Jogja terus.”
“Kenapa Malang?”
“Ya itu tadi.”
“Bukannya kamu mau ke…”
“Kan belum pasti, Yang. Masih bisa berubah. Masih punya waktu sebulan juga ini buat prepare.”
“Ya nggak papa, sih.”
“Kamu ikut juga kalo ke Malang?”
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved