Bab 9 Part 9. In the hoy di Kamar

by Dinda Tirani 16:27,Oct 09,2023
Pov ibu Jamilah
Hari ini, sungguh hari yang sangat membuatku kesal. Bisa-bisanya Ali sama sekali tidak melirik Dina. Dia bahkan sangat sibuk, terlalu fokus dengan istrinya.
Enak banget, si Ellinna, suami pulang, langsung minta peluk, minta cium, minta gendong. Istri mandul saja ngadi-ngadinya minta ampun. Disayang-sayang sampai segitunya. Aku sebagai ibunya bahkan merasa tidak rela.
Mereka berlagak sok romantis, seperti pasangan artis. Adegan mereka seperti adegan sinetron yang berjudul ikatan benci, yang di tivi itu. Sebel, aku.
Sungguh menyebalkan. Awas saja. Aku bersumpah, sebentar lagi, aku akan membuat adegan mereka akan berubah menyedihkan. Akan kubuat kisah mereka menjadi seperti tontonan emak-emak yang di sinetron lele terbang itu. Si istri bakalan nangis-nangis, di kaki suaminya, karena suaminya kawin lagi.
"Ku menangis.... Membayangkan...." Kira-kira seperti itulah soundtrack lagunya.
Ah ... aku sudah tidak sabar melihatnya. Ingin kurekam, kuposting biar viral. Salah siapa, berani-beraninya Ellinna menjadi pelakor. Jika saja dulu Ellinna tidak merebut Ali. Seharusnya sudah dari dulu Ali menikah dengan Dina. Karena aku sudah menjodohkan mereka sejak masih kecil.
Aku juga heran. Kenapa aku bisa memiliki anak seperti Ali. Rela menjadi budak cinta istrinya. Benar-benar anak tidak berguna. Laki-laki yang tunduk di bawah kaki istrinya. Sungguh memalukan.
Bahkan Ellinna sepertinya memang sengaja memamerkan lehernya. Jelas saja, hal itu membuat Dina pingsan. Kasihan Dina, baru saja datang, sudah dibuat patah hati.
Lebih mengesalkan lagi, Ali sama sekali tidak peduli terhadap Dina. Tidak menatapnya, tidak menyapanya. Entah nurun dari mana, sifat dinginnya.
Akupun semakin kesal. Jantungku berdegup kencang, naik turun tidak karuan. Hampir saja, aku mengucapkan sumpah serapah untuk Ali.
Untung saja Ellinna, menantuku yang sok alim itu, langsung menyetujui permintaanku. Sepertinya Ellinna takut kepadaku.
Jika saja Ellinna tidak langsung menyetujuinya, aku pasti sudah menyumpahi Ali, yang tidak-tidak. Salah sendiri, mau coba-coba jadi Malin Kundang. Dasar anak durhaka.
Namun ternyata Ali benar-benar marah, bahkan dia berani membanting pintu dengan sangat keras, sampai jantungku yang sudah tua ini, rasanya seperti mau transmigrasi ke Kalimantan saja. Belum pernah aku melihat Ali semarah itu. Aku sebagai ibunya, bahkan sempat merasa takut.
Bahkan sampai malam, mereka tidak keluar kamar. Entahlah apa yang mereka lakukan di dalam.
Bodoh memang Ali. Di sodori gadis secantik Dina, malah di anggurkan. Malah memilih wanita mandul yang sudah lima abad tidak memberi keturunan.
Benar-benar bodoh.
Aku dan Dina hanya mondar-mandir di antara ruang tamu, ruang makan, dapur, dan kamar tamu. Sesekali kami berjalan berjinjit-jinjit, menguping di depan kamarnya Ali, tapi tidak mendengar apapun. Aku pun berusaha mengintip dari lubang kunci, namun terlalu sempit, tidak melihat apa-apa.
Rasa marah, gundah, resah, gelisah, dan apapun itu, bercampur aduk menjadi satu.
Mereka sungguh tidak menganggapku. Bisa-bisanya, ibunya datang, kok malah ditinggal tidur, enak-enak in the hoy di kamar. Sungguh, tidak sopan. Memang benar, Ali lebih mementingkan istrinya, daripada ayah dan ibunya.
"Bu, sebaiknya mas Ali di panggil saja, diajak turun ke ruang makan, atau ruang tv."
Dina berbisik di telingaku, memberi ide.
Aku tersenyum mendengarnya. Aku pun punya rencana tambahan.
"Ok, kamu ganti baju dulu, yang seksi, biar Ali kepincut. Usahakan, malam ini kamu bisa mendapatkan Ali. Biar aku segera punya cucu. Cepat sana, ganti bajunya. Aku mau memanggil Ali."
Sementara aku memanggil Ali, Dina berlari ke arah kamar pembantu, untuk berganti baju.
Ku tarik Ali ke ruang keluarga. Aku harus pura-pura minta maaf, agar Ali bisa luluh. Saat kami sedang berbincang, Dina pura-pura lewat ke dapur, memakai baju seksinya. Berjalan anggun bak peragawati, berlenggak lenggok, menggerakkan pinggulnya. Namun lagi-lagi Ali cuek cuek saja. Dasar anak tidak berguna.
Paginya, Aku dan Dina bangun lebih awal. Kami memasak makanan kesukaan Ali. Berharap Ali akan luluh.
"Hai Mas Ali, selamat pagi .... Ini sarapannya sudah siap. Biar mbak Ellinna tidak perlu memasak. Aku masak kesukaan mas Ali, lho ..."
Dina menyapa Ali, menarikkan kursi untuk Ali, dan menyendokkan nasi di piring untuk Ali. Sungguh pasangan yang sangat serasi, jika nantinya mereka bersama. Apalagi jika nanti sudah punya banyak anak. Pasti anaknya cakep-cakep, cantik-cantik. Tidak seperti cucuku yang lima itu.
Belum selesai aku membayangkan Ali dan Dina, tiba-tiba aku di kagetkan dengan suara Ali yang memanggil istrinya.
"Ellinna, Sayang ... kita sarapan, yuk?"
Ellinna pun turun dari kamarnya, sudah berpakaian rapi. Dia tersenyum ke arah kami. Menarik kursi di sebelah Ali, kemudian mendudukinya.
"Sayang, aku mau di suapin dong ..."
Ali bicara pada istrinya. Lebih tepatnya calon mantan istrinya, jika nanti Dina sudah berhasil merebutnya.
"Idih ... Mas Ali, manja banget, sih .... Malu, di lihatin ibu, Mas ...."
Jawab Ellinna sok kecantikan.
Dina yang sedari tadi hanya diam mematung, mulai bergerak cepat. Mengambil piring makanan Ali.
"Biar saya suapin, Mas ....
Kalau mbak Ellinna gak mau nyuapin mas Ali ...."
Kata Dina sambil menyodorkan nasi ke mulutnya Ali. Ah, Dina memang pintar. Dia begitu pandai memanfaatkan kesempatan.
Tapi, tiba-tiba saja Ali menutup bibirnya rapat-rapat. Dan memandang Dina dengan tatapan yang menghujam. Lagi-lagi, aku melihat bahwa Ali yang sekarang sudah bukan lagi Ali kecilku yang dulu.
"Ayo sayang, kita berangkat sekarang saja." Ucap Ali kepada Ellinna.
Ellinna pun menuruti perintah Ali. Mereka mencium tanganku, kemudian melenggang ke luar rumah. Padahal sebenarnya aku merasa malas, saat Ellinna mencium tanganku.
Tapi baru sampai di ruang tamu, Ellinna berbalik memanggil Dina. Sementara Ali terus keluar ke teras.
"Dina, kalau mau kerja di rumah ini, ganti pakaian kamu, dengan pakaian yang sopan. Aku tidak akan segan-segan untuk memecat mu, jika gaya berpakaianmu masih seperti itu."
Ucap Ellinna sambil tersenyum. Dia berbicara dengan lembut, namun seperti sedang mengancam. Dina pun hanya diam.
Dasar menantu sok alim, sok kecantikan.
Mereka pun berjalan keluar dari teras rumah. Tangan Ali merangkul pinggang Ellinna, dengan sangat mesra. Bahkan aku pun merasa iri. Dulu aku tidak pernah diperlakukan seperti itu, oleh suamiku.
Dina hanya menatap mereka dengan tatapan cemburu. Kasihan, Dina.
Aku menuntun Dina untuk masuk ke dalam.
Sepertinya Aku dan Dina harus bekerja lebih keras lagi. Biar ku pikirkan strategi selanjutnya.
Sambil membantu Dina menyelesaikan pekerjaan rumah, aku terus berfikir bagaimana caranya, agar bisa memisahkan Ali dan istrinya yang mandul itu.
Bagaimanapun juga, aku sudah terlanjur dendam dengan Ellinna. Gara-gara dia, nyawa suamiku tidak bisa tertolong lagi. Ellinna benar-benar sudah merebut Ali dari orang tuanya.
Bersambung

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

201